Filosofi Kopi


Filosofi kopi itu salah satu buku karya dee. Saya termasuk suka buku-buku nya.
“Aku memang hitam tapi aku punya rasa. Bisa pahit, bisa manis, bisa kasar, dan juga bisa lembut tergantung yang merasakannya.”filosofi kopi
SPASI 
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak bila ada jarak?
Dan saling menyayang bila ada ruang?
Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan,tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi.
Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali.
Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah.
Jadi, jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat.
Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.
(Spasi-Ahmad Saval)

FILOSOFI KOPI
Pepatah bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila .
Seseorang memiliki tiga pilihan dalam hidup. Dia dapat berenang melawan arus dan mendapatkan kelelahan dalam tujuannya, atau Dia dapat menapaki air dan membiarkan derasnya air menyapu pergi, atau Dia bisa berenang dengan air pasang, dan biarkan membawa Anda di mana Anda ingin pergi.
Pernah terfikirkan untuk terus berjuang tanpa lelah, meraih mimpi dengan angan berupa idaman dan harapan. Mencari tahu jalan keluar terbaik dengan cara kembali tanpa melaluinya. Pahit.
Tapi, siapa tahu, bahwa jalan belakang adalah jalan yang benar, jalan yang di RidhoiNya, jalan sesungguhnya. Karena Jalan itu adalah jalan kemenangan yang sesungguhnya.
Untuk sebuah strategi matang dengan taktik jitu dalam harapan yang bermutu, tidak ragu, dan terus memburu. Aku, rencanaku, niatku, beserta doa-doaku. Kembalilah dalam dua. Romantis, namun tak Overdosis.

CUACA
Cuaca bagi kami adalah metafora. Menanyakan cuaca menjadi ungkapan yang digunakan saat masing-masing pihak menyimpan hal lain yang gentar diutarakan.
‘Bagaimana cuacamu?’
‘Aku biru.’
‘Aku kelabu.’
Keangkuhan memecah jalan kami, kendati cuaca menalikannya. Kebisuan menjebak kami dalam permainan dugaan, lingkaran tebak-menebak, agar yang tersirat tetap tak tersurat.
‘Bagaimana cuacamu?’
‘Aku cerah, sama sekali tidak berawan. Kamu?’
‘Bersih dan tenang. Tak ada awan.’
Batinku meringis karena berbohong. Batinnya tergugu karena telah dibohongi. Namun kesatuan diri kami telah memutuskan demikian: menampilkan cerah yang tak sejati karena awan mendung tak pantas jadi pajangan.
Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan kenyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan.
Share:

Sabtu Pagi



Syair Pagi
Selamat berakhir pekan, para penyair SP. Pagi sempurna tanpa secangkir kopi, hanya ada dalam puisi.
Telah aku tinggalkan tanda kehadiranku di hatimu. Kelak, setiap kau melihatnya, kau akan merindukanku.
— @sabdaliar
Lidahmu, embun yang selalu pagi, menyajakkan sejuk di telingaku, yang daun.
— @ChalanRedRock
Selepas pergimu, aku hanyalah sekujur pagi tanpa mentari, menggigil dalam kerinduan, meremang dalam kesendirian.
— @AdyBL
Cukuplah rindu merajuk senguk di fajar dingin, hangatnya cinta ada di setiap regukan kopi.
— @telukjingga
Kau rumah terindah tempat segala rasaku berpulang.
— @Keshakeshi
Di bawah teduh akasia, aku menukar suaramu dengan angin.
— @ama_achmad
Bunyi gelas beradu memecah hening rindu. Satu sendok kopi, dua sendok gula dan kenangan pun terhidu.
— @ama_achmad
pagi ini adalah hujan yang sepi. cinta demam lagi. rindu menikam-nikam ulu hati.
— @semut_nungging
Mendung bergelayut manja, mencari teman selepas hujan, adakah senyum pelangi terukir untuk kita?
— @Susi_SmileKitty
Cuap mesra embun pagi, menetes melunturi syahdu pilu.
— @katapuisi
Tiada yang lebih hangat dari airmatamu, Ibu, aku terlalu basah untuk merindukanmu pagi ini.
— @mikemustamu
Aku suka di sini, di dada bagian kiri, tempat segalanya dapat kulakukan, di mana namamu selalu kudenyutkan.
— @Om_Kelana
Tak ada yang hilang sedikitpun. Bahkan dalam ketiadaan, kau tetap ada bagiku, dalam setiap desiran sunyi aku mencatat namamu.
— @ciyecci
Pagi adalah lengan-lengan rindu, tak terjangkau pelukan, namun setia mendoakan
— @ciyecci
Kan kunamakan kau mentari, agar kelak cahayamu menuntunku dari sepi yang meniadakan tepi.
— @penatapbulan
Sementara mentari masih sibuk menyibak mendung pagi, rindu mulai menghapus pilu yang tak mau pergi.
— @yulialiman
Sebegitu dekat sebegitu erat, seperti itulah kita. Yang kelak diabadikan waktu hingga senja, menua.
— @Om_Kelana
Berlarilah ke arahku dengan segera, ada cinta yang perlu kita selamatkan, mungkin dalam sebentuk pelukan
— @indiejeans
seperti pagi-pagi sebelumnya, sepenuh semesta aku merindukanmu.
— @duniakecil_ku
Secawan embun tak lelah menyambut pagi, walau mentari mengusirnya pergi. Esok ia pasti kembali, mengawali hari
— @KimiWidya
Akulah lautan yang menguap; meninggalkan asin kenang, melupakan bentang nan kemilau, agar dapat menemuimu, langitku.
— @AdyBL
Ini tentang alam. Alam yang menuturkan keindahan tanpa tutur kata-kata
— @setaktak

 All tweet from @svlxx_

Share:

All About BMTH


This is me. Just like BMTH said : I'm the ocean, I'm the sea. There's a world inside of me.
I can't resist the collision of this tsunami. I'm looked beautiful outside, but when you see the underneath, you'll know i'm contaminated by the pollutan in the name of love. You can see in the media, that i'm as the reef looked solid, strong. But if you look closely, i'm just a weak creature, symbol of fragility of nothing.

This is me. I'm the forest. Mysteriously deep and easily burned by external causes.
I'm not the animal, that can run when the fire come. I'm just a rock in the forest-ignored by everything and just stay in a place, in the same place. I have dreamt to be a bird, can fly to anywhere he wants and surely, can sing his own song freely. But the reality ? once again i say, i'm just a rock. I'm easily broken by the heavy rain. Just like my heart, easily broken by the owner of the rain, her rain. Patheticly, i don't see the rainbow after it. I just see the cloud's hiding behind the mountain, with her sun.

I just became 2 of 3 places. Because i was only placed in the bottom, i mean bottom of you. And surely i can touch you by nothing, my daylight//my moonlight//my starlight. The sky, the happy sky.
Share:

Rasa / Paradox


Aku belajar di sekolah. Aku melihat guru mengajar, mendengarkan, dan mencoba memahami. Aku pun paham, dan aku bersemangat belajar serta berucap dalam hati, "Aku ingin menjadi Dokter suatu saat nanti."
Pulang sekolah aku lupa akan hal itu.

Aku dengan sepedaku bergegas menuju sekolah, latihan silat. Aku jatuh, bangun, jatuh, bangun, luka. Seperti itu terus, seakan kontinuinitas yang rajin berlangsung. Akhir latihan, guruku memberikan wejangan dan saran. Semangatku membara, serta berucap dalam hati, "Aku ingin menjadi Pesilat yang handal !"
Latihan selanjutnya aku lupa akan ucapku.

Aku mengaktifkan laptop, lalu meng-doubleclick-an cursor pada salah satu media player untuk musik. Aku pun mendengarkan lagu-lagu keras. Aku pun terpana, dan berucap dalam hati, "Keren! Aku ingin jadi Screamer!"
Lalu akupun malas berlatih.

Aku sempat iseng menggambar. Sketching tepatnya. Terinspirasi dari gambar-gambar di devianArt, aku pun mencoba gambar, entah gambar apa itu. Aku pun keasyikan menggambar, dan berkata dalam hati, "Suatu saat nanti aku akan jadi Seniman"
Lalu gambarku salah, dan tak ada penghapus. Aku pun menjadi malas.

Aku punya gitar dan aku terkadang memainkannya. Yah, beberapa lagu aku lancar memainkannya. Temanku sempat memujiku. Akupun girang dalam hati, dan berbisik, "Keren kali ya kalau nanti jadi Gitaris!"
Temanku itu meminjam gitarku, dan dia lebih handal dariku. Aku merasa rendah diri.

Aku suka bersepeda, bersepeda motor maksudku. Dari mulai jalan-jalan sendiri sampai bersama teman, aku suka itu. Seringkali aku kebut-kebutan di jalanan. Adrenalinku memuncak, dan aku berkata, "Mantap bro, gue harus jadi pembalap nanti!"
Lalu kulihat motor yang lebih keren menyalipku. Aku pun segan dan enggan membalapnya. 


ahmad saval
Share:

Those Words of Shit, From Cunts.


Recently, there are many people that candidating to be a House of Representatives member, or you can call it in Indonesian as 'DPR'. Besides that, many people also candidating to be Governor, Chief, or anything that related to the goverment. They're very different. Different people, different organization, different duty, etc. But they have a similarity, they are easily to give some promises to the people. Badly, when they get the position that they want, seems that they forget all of their promises. They do what they want. They do the corruption. They play with the girls, which you called them as whore. 

And many others, which are reflecting that the morality of Indonesian people (Goverment especially) is on the bad condition. I never said that i'm the good one. I realize that i like the others, i have some mistakes-also big mistakes. But while my 'good' is on, i just want to remind you, 
"Don't ever say the promises so easily". 

If you think that you can't fulfill your promise, you'd better keep your promise in silence. 



Ahmad Saval
Share:

Saya

Sebenarnya saya bimbang. Saya ini masuk kategori apa? Ada dengan seutuhnya, Ada dengan cela didalamnya, atau justru tiada mutlak? Sampai saat ini pertanyaan itu masih saya simpan, tak saya utarakan pada kedua telinga mereka, atau dalam kata lain, seseorangpun. Saya hanya mencoba menafsirkan setiap realita ini, dengan sepenuhnya mencoba berada di dalam diri sendiri, tak melirik pada orang lain, hingga nanti pada akhirnya saya akan tahu, kalau sebenarnya saya ini apa. Saya ini termasuk apa. Saya ini milik siapa. Dan saya ini siapa.
 
Saval Ahmad

Share:

Bahagia ?

 
 
 
Bahagia? Ya, mereka boleh mendefinisikan dalam berbagai macam kata, bahasa, pemikiran, atau bahkan perbuatan. Banyak insan yang berpikir, "kebahagiaan adalah mendengarkan musik", "kebahagiaan adalah bermain gitar", "kebahagiaan adalah berkeliling dunia", mereka sah-sah saja berpikir atau mengatakan demikian. Tetapi alangkah baiknya manusia melihat pada tingkat kebahagiaan. Mungkin jika berbicara tentang "bermain gitar" atau "mendengarkan musik" yang dapat kita lakukan sehari-hari, sehingga (mungkin) setiap harinya kita bisa berbahagia karenanya. Nah kalau patokan kebahagiaan mereka terlalu tinggi dengan pengorbanan yang cukup besar pula semisal berkeliling dunia? Secara rutinitas sendiri, kebanyakan manusia zaman sekarang ini lebih bekerja di perkantoran, terikat dengan tugas menumpuk dan tanggungan kewajiban, sehingga jika mereka punya patokan kebahagiaan seperti yang diatas, mereka pun sulit mewujudkannya. Dan jika sulit mewujudkannya, mereka akan sulit untuk tersenyum bahagia. Hari-hari mereka akan penuh dengan 'rengutan' atau 'cacian'. 

Seharusnya kita selaku manusia sadar, bahwa kebahagiaan dapat kita buat dan bentuk sendiri..

Karena kebahagiaan adalah sikapku
Karena kebahagiaan adalah pemikiranku
Karena kebahagiaan adalah keputusanku
Karena kebahagiaan, adalah aku


Ahmad Saval
Share:

Kebenaran, Subjektivitas, dan Objektivitas




Kebenaran


Jujur, terkadang saya suka bingung, apakah ada sesuatu yang 'kami' sebut sebagai 'kebenaran' ? Kalaupun ada, dimanakah letak pasti 'kebenaran' tersebut ? Hingga suatu detik, entah detik keberapa yang telah saya manfaatkan buat memikirkan hal ini, telah saya dapatkan arti dari 'kebenaran'. 
Kebenaran, adalah suatu keyakinan hati yang bebas kita ekspresikan dalam berbagai bentuk, dengan perpaduan yang indah dengan komitmen dan kenyataan yang berada pada lubuk hati terdalam, bukan tempat lain. 'Kebenaran' lebih cenderung bersifat subjektif, karena masing-masing persona memiliki pendapat 'kebenaran' dan tindakan 'benar' menurut mereka masing-masing. 

Hingga, saya harus memaklumi adanya 'kebenaran-kebenaran' yang amat berbeda antara orang lain dengan 'kebenaran' yang saya yakini. Namun setinggi-tingginya tingkat kemakluman saya, tetap saja berbatas. Jika 'kebenaran' saya terusik oleh 'kebenaran' orang lain, haruskah saya diam diri dan membiarkan 'kebenaran' itu dimakan oleh sesuatu yang orang lain anggap sebagai 'kebenaran', yang menurut saya adalah 'ego' ?

Subjektivitas dan Objektivitas

Subjektivitas, kata ini mengandung kata 'subjek' yang jelas-jelas mengartikan bahwa, subjektivitas adalah suatu pendapat yang dimiliki oleh seseorang yang ia yakini benar, tanpa bergantung pada sumber dari pendapat orang tersebut. Sementara itu, Objektivitas yang memiliki kata 'objek' didalamnya, adalah suatu pendapat yang dimiliki seseorang yang ia gantungkan pada realita dan kenyataan-atau dalam kata lain as real as the object. Ada beberapa orang yang cenderung bersifat objektif, bersifat subjektif, atau juga seimbang antar keduanya. 
Kalau saya ibaratkan keduanya, objektivitas adalah suatu kanvas, sementara subjektivitas adalah tinta-tinta yang terlukis didalamnya. Mengenai ketepatan ukuran kanvas tersebut, harus pas, tidak terlalu kecil (objektivitas terlalu kecil = mengkhayal berlebih) ataupun tidak terlalu besar (Objektivitas terlalu besar = kaku). Mengenai keindahan tinta-tinta yang ada didalamnya, keindahan yang terlukis tergantung pada kita masing-masing, mampukah kita membentuk suatu lukisan dari tinta-tinta tersebut, sehingga dapat terbentuk lukisan yang indah (Mampukah kita menempatkan dan menggunakan subjektivitas pada diri kita dengan efektif dalam pembentukan keindahan-keindahan dan kenyamanan pada realita kita). 
Mengenai penggunaan objektivitas yang tidak dibarengi dengan subjektivitas, ataupun sebaliknya, coba pikir, penggunaan objektivitas dan subjektivitas yang sedikit saja sudah tergolong tidak baik, apalagi tidak menggunakan mereka sama sekali. Jika kanvas (objektivitas) ada, namun tinta (subjektivitas) tidak ada, lantas apalah guna dari kanvas tersebut ? Sebaliknya. Jika tinta ada, namun kanvas tidak ada, yang ada justru tinta itu akan digunakan/diekspresikan pada tembok-tembok jalanan dan barang-barang yang seharusnya bukan sebagai tempat pengekspresian tersebut.
Sekali lagi, ini hanya bentuk pengekspresian diri dari 'kebenaran' yang ada di dalam diri saya, jika ada yang tidak setuju, mungkin makna 'kebenaran' dan bentuk 'kebenaran' pada masing-masing diantara kita memang berbeda. Pada akhirnya, siapalah saya ini ? :) 

Ahmad
Share: