Aku mati hari ini. Ya sobat, aku mati hari ini. Benar-benar mati. Mati yang sesungguhnya. Tepatnya dini hari tadi, kira-kira pukul dua lebih sedikit. Dalam perjalanan pulang, aku mengalami kecelakaan. Sebenarnya ketika itu aku tidak sendiri. Aku bersama seorang teman. Ia yang mengendarai motor dan aku yang membonceng. Sialnya ia tidak ikutan mati. Ia selamat walau sekarang masih kritis. Tidak perlulah aku ceritakan bagaimana kejadiannya secara detail atau bagaimana keadaan jasadku. Hal itu hanya akan membuat kamu ingin muntah. Tapi perlu aku ingatkan pada mu sobat, pakailah helm berlogo SNI!, kalau kamu masih ingin mengenali wajah mu sendiri.
Jangan kamu tanya bagaimana rasanya sobat. Rasanya luar biasa sakit. Sampai batas-batas yang sudah tidak bisa diterima otak. Tapi lebih sakit lagi adalah menyadari bahwa masih banyak hal yang belum aku benahi dalam hidup ku. Setiap ingatan, sekecil apapun itu, selama kurang lebih dua puluh tahun masa hidupku diputar kembali. Ingatan itu dimampatkan hingga sepersekian detik saja. Lalu hilang. Lenyap begitu saja. Segalanya.
Setelahnya hanya ada aku. Aku sebagai sesuatu yang tidak aku ketahui. Tanpa tubuh, tanpa akal, tanpa ingatan, tanpa pikiran, tanpa bentuk, tanpa identitas. Aku tidak juga merasakan apa-apa, aku tidak melihat apa-apa, aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak mencium apa-apa, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya sadar, bahwa aku ada. Aku hanya sebentuk kesadaran. Tidaklah perlu kamu pikirkan bagaimana cara ku (yang hanya sebentuk kesadaran) mengisahkan ini semua pada mu.
Aku tidak lagi ingat tentang gambaran-gambaran surga dan neraka yang sering kali aku dengar. Padahal hikayat-hikayat itulah yang menjadi dongeng tidurku ketika kecil. Bagaimana para pendosa disiksa habis-habisan sampai batas yang tidak mampu mereka bayangkan atau bagaimana para kekasih Tuhan diberikan segala kenikmatan yang melebihi harapan mereka sendiri. Aku tidak lagi risau. Aku juga tidak lagi takut. Risau dan takut mungkin tertinggal bersama sisa-sisa otakku di jalan beraspal itu. Ya, semuanya memang tertinggal. Aku tidak perlu lagi. Aku hanya perlu kesadaran ini. Aku akan kembali. Kembali pada-Nya. Menyatu dengan-Nya. Menjadi Dia.
*****
Aku dimana? Aku benar-benar takut, bahkan untuk bertanya dalam pikiran sendiri. Aku mendapati diriku ditengah kumpulan manusia. Ratusan manusia, tidak-tidak, ribuan manusia, atau mungkin jutaan. Entahlah, terlalu banyak makhluk disini. Tempat yang luar biasa luas, tidaklah seumur hidup aku pernah melihat yang model begini. Ketika memandang ke utara maka akan sampai ke selatan, ketika memandang ke barat maka akan sampai ke timur, begitu pula sebaliknya. Ahh, bahkan aku belum pernah bisa menentukan arah mata angin.
Aku memberanikan diri. Menebak-nebak dalam hati. Apakah dunia sudah kiamat? Semua manusia mati? Apakah ini sebuah persidangan akhir yang tertulis di dalam kitab suci? Atau aku hanya bermimpi? Aku enggan bertanya pada orang-orang telanjang disekitarku. Mana mungkin aku yang waras bertanya alamat pada orang gila tanpa busana. Atau mereka yang waras dan aku yang gila. Mungkin saat itu memang yang waras tidak berbusana. Ohh, baguslah ternyata aku juga tidak berbusana, setidaknya aku sama gila dengan yang lainnya. Tak apalah gila, asal sama-sama.
Benar dugaanku. Manusia sudah kiamat. Peradaban manusia sudah usai. Aku mulai risau. Manusia-manusia telanjang lain juga risau. Aku takut, meraka juga ikutan takut. Aku gerah, mereka juga terlihat gerah. Gawat sekali, aku benar-benar lupa apakah tadi aku sudah sholat. Ahh, aku benar-benar lupa kapan terakhir kali aku sholat, atau mungkin aku memang tidak pernah benar-benar sholat.
Tuhan berdiri dipodium-Nya. Disamping-Nya para malaikat berjajar rapi. Manusia-manusia telanjang termasuk aku terkaget-kaget menatap Tuhan. Inilah misteri terbesar dalam sejarah manusia. Eksistensi Tuhan. Segala rasa bercampur-baur dalam hatiku. Kagum, kaget, takut, malu, bahagia, cinta, benci. Bahkan perasaan-perasaan yang tidak terdefinisi. Tuhan memanggili satu-satu dari kami. Satu-satu kami dihadapkan kepada Nya. Diawali nama para nabi, lalu orang-orang suci, lalu orang-orang yang tidak terlalu suci tapi masih dalam golongan suci, lalu yang tiga per empat suci, dilanjutkan yang setengah suci setengah biasa saja, kemudian yang agak-agak suci, berikutnya yang sedikit suci.
Kurang lebih 40 juta tahun sebelum akhirnya namaku dipanggil. Entah aku berada digolongan suci yang mana. Aku sudah mulai bosan ketika itu, manusia-manusia telanjang lain yang belum dipanggil juga kelihatan sama bosannya. Bahkan Tuhan sudah pula terlihat bosan (salah-Nya sendiri kenapa menciptakan manusia begitu banyak). Aku bergegas. Meneguhkan hatiku sesaat agar terlihat lebih percaya diri dimata Tuhan. Tuhan bergumam-gumam cukup lama. Melihat catatanku, lalu memberi isyarat pada dua malaikat yang sedari awal setia disisi-Nya. Aku takjub melihat kesetiaan kedua malaikat itu. Hanya mereka yang tidak sedikitpun menunjukan wajah lelah atau bosan selama 40 juta tahun terakhir ini. Mereka mencengkram kedua lenganku agak kasar. Masing-masing satu malaikat pada satu lengan. Aku ingin protes, tapi takut, jadi aku hanya diam dan terseok-seok mengimbangi langkah mereka yang cepat. Kedua malaikat itu menyeret ku ke belakang podium. Dari situ aku bisa melihat punggung Tuhan. Ia tidak terlihat gagah dari belakang.
Kedua malaikat itu terus menyeret ku. sampailah kami tiba di sebuah tepian. Sebelumya aku menyangka tanah maha luas itu tidak memiliki tepi, tapi ternyata ada juga tepinya. Tepian itu adalah batas antara tanah maha luas dengan sebuah jurang yang juga maha dalam. Aku mulai berpikir kalau jurang itu tidak memiliki dasar, kalaupun ada dasarnya, aku tidak berani membayangkan apa yang berada di dasar sana.
“Tempat para pendosa adalah neraka”. Teriak salah satu malaikat sambil mendorong tubuhku ke dalam jurang. Aku tidak begitu kaget. Skenario ini seperti sudah aku duga sebelumnya.
Aku terjatuh ke dalam jurang maha dalam itu. Melayang-layang sambil menggapai-gapai udara kosong disekitarku. Makin lama semakin gelap. Aku jatuh. Hanya jatuh.
Entah berapa lama sudah aku terjatuh. Aku masih saja terjatuh. Mulai bosan rasanya. Entah berapa lama lùagi akan sampai di dasar. Setelah kira-kira melayang selama puluhan tahun (ahh, entahlah sejak awal tadi aku sudah tidak lagi punya patokan waktu, matahari begitu dekat dengan kepala, jadi sudah tidak bisa dipercaya), akhirnya aku membentur sesuatu. Tubuhku hancur, bukan main sakitnya.
Wellcome to the hell
“Wahai pendosa takutlah kamu, ini adalah neraka, tempat segala rasa sakit dihidangkan selagi hangat”. Sesosok makhluk besar menakutkan menghampiri tubuhku yang masih kesakitan akibat terjatuh tadi. Rupanya itu adalah malaikat penjaga neraka. Seperti katanya, maka aku menjadi takut. Entah apa yang membuat ku takut. Pokoknya aku takut saja. Aku diseretnya dengan sangat kasar. Ia menjadikan rambut ku sebagai tali kekang. Aku tidak punya daya untuk melawan. Tubuhku terus diseret diatas lantai neraka yang panas dan berapi-api. Sebagian kulit dan dagingku sampai tercecer sepanjang jalan.
Mulai saat itu aku disiksa tanpa henti. Dipukuli sampai kepala hancur, ditusuk besi panas, dikuliti, dicungkil mata, dicabut kuku dan gigi, dicukur rambut model 80-an (yang satu ini aku bercanda) atau disuruh memakan api dan darah kotor. Begitu terus selama kurang lebih 40 juta tahun (aku sudah tidak punya patokan waktu sobat, jadi aku asumsikan bahwa waktu paling lama adalah 40 juta tahun). Lalu aku bosan. Ya, lagi-lagi aku bosan. Acara cungkil mata dan kawan-kawannya sudah tidak terasa menakutkan lagi. Malaikat penjaga neraka sekarang jadi lebih mirip badut ketimbang ogre yang mengerikan. Sampai suatu ketika malaikat yang biasa menusuk-nusuk bokongku dengan besi panas datang menghampiri ku. Tapi kali ini ia tidak membawa besi panas. Ia mengantarkan aku sampai kedepan pintu gerbang neraka, dan kemudian menendang bokongku keras-keras sampai aku terpental jauh. Jauh sekali.
Berapa lama surga akan membuat mu bahagia?
Dijemput oleh dua makhluk paling cantik yang pernah aku lihat. Aku berani bertaruh tidaklah ada yang menyamai kecantikan mereka di dunia. Makhluk-makhluk cantik itu membasuhi wajahku dengan air segar. Air yang sangat segar. Pokoknya tidak ada pula air di dunia yang menyaingi kesegarannya. Dibersihkan pula sisa-sisa neraka dari tubuhku.
Ketika memasuki gerbang, aku disambut oleh banyak sekali makhluk-makhluk maha cantik. Disambut seperti raja. Dielu-elukan, diagung-agungkan, disanjung-sanjung. Aku takjub, tidak ada satu pun aku lihat hal buruk di surga, tidak pula aku cium bau-bauan yang buruk, tidak pula suara atau omongan buruk. Semuanya mulia, semuanya indah, semuanya sempurna.
Setiap hari, setiap jam, setiap detik, bahkan setiap satuan waktu yang tidak dapat dibagi lagi, dipenuhi oleh kenikmatan. Kenikmatan tanpa ada batasnya. Aku sampai heran sendiri, sebenarnya kebaikan apa yang pernah aku lakukan sampai aku diganjar kenikmatan yang banyaknya tidak dapat ditakar. Maka bertanyalah aku pada salah satu bidadari yang dengan setia menyisiri rambutku.
“Wahai bidadari, tahu kah engkau apa yang sesungguhnya menjadikan aku penghuni surga?”
“Hmm, mungkin semasa hidup, tuan adalah ahli ibadah”.
“Rasa-rasanya aku manusia yang jarang sholat”.
“Atau mungkin Tuan rajin berpuasa”
“Catatan puasaku juga tidak terlalu baik”
“Hmm, pasti tuan semasa hidup adalah seorang dermawan yang ikhlas”
“Aku memang pernah memberi uang kepada seorang pengemis, tapi setelah itu aku menyesal sendiri karena tidak punya receh untuk membeli rokok”. Bidadari itu kelihatan agak bingung. Ia seperti sedang memikirka alasan-alasan lain yang biasa membuat manusia bisa masuk surga.
“Nah, mungkin karena tuan seorang yang jujur, buktinya tuan mengaku kalau tuan menyesal telah bersedekah”. Bidadari itu berkata sambil tersenyum lembut padaku.
“Ahh, aku sering kali berbohong pada ibuku tentang banyak hal”
“Nah, tuan jujur lagi bahwa tuan sering berbohong”.
“Wahai bidadari yang luar biasa cantik, apakah syarat termudah untuk masuk surga?”
“Hmm, sepertinya tuan cuma butuh iman, tuan harus percaya pada eksistensi Tuhan dan mengakui-Nya sebagai Yang Esa. Apakah tuan percaya?”
“Ya, aku percaya pada eksistensi-Nya, aku meyakini bahwa ada sesuatu yang menciptakan tapi tidak diciptakan, yang mengatur tapi tidak diatur, yang menggerakan tapi tidak bergerak, yang merubah tapi tidak berubah. Aku tidak meragukan itu, aku meyakini bahwa segala yang baik berasal dari sesuatu itu. Dan yang baik itu kembali kepada sesuatu itu. Kembali menjadi Dia. Dia yang esa. Ada Tuhan dalam setiap diri. Seperti yang di atas begitu juga yang di bawah”.
“Nah, alasan itu yang mungkin membuat tuan berada di surga”.
“Aku tidak yakin, rasanya aku tidak benar-benar pantas”.
“Kenapa?”
“Karena aku tidak pernah benar-benar menyembah-Nya. Logika-ku terlalu sombong untuk direndahkan. Aku tidak mau menyembah sesuatu yang tidak aku kenal secara logika”.
“Tapi Ia memang tidak butuh disembah, makhluklah yang butuh menyembah-Nya”.
“Tapi aku sombong, dan sombong adalah sifat iblis. Tempat iblis adalah di neraka. Abadi”.
“Tuan salah”.
“Apanya yang salah?”.
“Iblis tidak berada di neraka saat ini”.
“Wahai, bidadari yang luar biasa cantik, tidakkah engkau sedang mengecoh ku”
“Wahai, manusia yang mulia, kami para bidadari tidak diberi kemampuan untuk berdusta atau mengecoh, saat ini iblis yang kau kenal sedang berada di sisi-Nya”.
“Lalu bagaimana bisa iblis sang musuh abadi bisa berada di sisi-Nya?”
“Karena Ia lebih mulia dari yang lain”
“Tunggu dulu, tapi apakah sang iblis benar-benar ada secara wujud, atau hanya representasi dari sifat-sifat buruk manusia?”
“Wahai manusia yang mulia, apakah menurut mu malaikat benar-benar ada atau hanya representasi dari sifat-sifat terpuji manusia? Apakah aku ada atau hanya representasi dari segala konsep kecantikan dan keindahan yang mampu dikhayalkan manusia? Apakah Tuhan benar-benar ada atau hanya representasi dari segala kesempurnaan, keabadian, kekuatan, dan keniscayaan yang mampu dipikirkan manusia? Apakah Tuhan ada dengan sebenarnya, atau hanya ada dalam pikiranmu? Apakah kamu, aku, mereka, dan semesta ada dengan sebenarnya, atau hanya ada dalam pikiran Tuhan, dan ketika Tuhan berhenti memikirkan kita maka kita menjadi tidak ada?”
“Ya, suka-suka Tuhan lah. Aku lelah memikirkannya. Wahai bidadari yang cantik tiada tara, tapi bagaimana mungkin iblis yang menjadi sumber segala kesengsaraan manusia, pembunuhan, pembantaian, perampasan, pemerkosaan, pelecehan, penghinaan, perseteruan dan peperangan, bisa begitu mulia disisi Tuhan?”.
“Kenapa kamu jadi menyalahkan iblis atas itu semua?”
“Apakah seharusnya tidak begitu?”
“Beribu maaf wahai manusia yang mulia, tapi kalian umat manusia, selalu saja mencari pembenaran atas segala sesuatu yang kalian lakukan secara sadar”.
“Tapi dimana letak kemuliaan iblis itu wahai bidadari?”
“Iblis adalah yang memisahkan telur-telur busuk dari dalam keranjang. Iblis yang memisahkan kerikil dari beras. Tuhan telah memuliakan kalian wahai manusia. Ia memberikan kepada manusia sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk-Nya yang lain. Ia memberikan kalian pilihan. Kalian manusia, selalu bebas memilih untuk menjadi diri kalian. Dirimu adalah apa yang kamu pilih, bukan apa yang Tuhan ciptakan. Ketika Adam diciptakan iblis menolak merendahkan diri pada Adam, maka terkutuklah sang iblis. Mulai saat itu Ia mengenakan jubah keterhinaan. Iblis memakai juga topeng kebencian-Nya. Lalu iblis bersumpah akan menggoda manusia sepanjang masa. Jadilah Ia sesuatu sumber keburukan, yang dihina, dan dicerca selamanya. Ia terusir dari surga dalam wujud terburuknya. Tapi asal engkau tau wahai manusia, itu semua adalah sebuah bentuk ketaatan iblis kepada Tuhan, itu semua adalah bentuk ibadahnya. Seperti juga sholat-mu, puasa-mu, sedekah-mu. Ia telah menunjukkan siapa-siapa saja yang setia, dan siapa-siapa saja yang memalingkan wajahnya dari Tuhan. Maka hari ini janganlah kamu membanding-bandingkan kemuliaan kamu dengan dia”. Saat itu juga aku tercekat, tidaklah pernah aku sebelumnya berpikir kesana.
“Berarti, segalanya hanya sebuah skenario? Sebuah konspirasi besar? Lalu apalah artinya manusia wahai bidadari? Apakah kami hanya mainan Tuhan saja?”
“Suka-suka Tuhan lah. Hmm, tidakkah kamu mensyukuri segalanya wahai makhluk paling mulia? Jika saja skenario itu tidak dijalankan, itu artinya kalian manusia akan dilahirkan dan tumbuh besar di surga ini. Kalian akan sangat terbiasa dengan surga. Lalu apakah surga masih akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kalian? Surga menjadi istimewa karena kalian telah menjalani hidup didunia.
Aku terdiam. Bidadari itu tersenyum.
*****
Sampai Tuhan Bosan
Setelah hari itu aku hidup berdamai-damai saja di surga. Surga memang akan selalu damai. Aku nikmati kenikmatan-kenikmatan yang tersedia tanpa takut akan berkurang. Begitu terus, hari-hari ku diisi dengan kenikmatan dan puji-pujian kepada Tuhan. 100 tahun, 1000 tahun, 10.000 tahun, 100.000 tahun, 1.000.000 tahun, 40 juta tahun. Tidakkah aku bosan? Ya, aku bosan, penghuni surga yang lain juga terlihat bosan, para malaikat bosan, bidadari-bidadari bosan, dan akhirnya Tuhan bosan. Lalu Ia berhenti berpikir.