Filosofi Kopi


Filosofi kopi itu salah satu buku karya dee. Saya termasuk suka buku-buku nya.
“Aku memang hitam tapi aku punya rasa. Bisa pahit, bisa manis, bisa kasar, dan juga bisa lembut tergantung yang merasakannya.”filosofi kopi
SPASI 
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak bila ada jarak?
Dan saling menyayang bila ada ruang?
Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan,tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi.
Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali.
Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah.
Jadi, jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat.
Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.
(Spasi-Ahmad Saval)

FILOSOFI KOPI
Pepatah bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila .
Seseorang memiliki tiga pilihan dalam hidup. Dia dapat berenang melawan arus dan mendapatkan kelelahan dalam tujuannya, atau Dia dapat menapaki air dan membiarkan derasnya air menyapu pergi, atau Dia bisa berenang dengan air pasang, dan biarkan membawa Anda di mana Anda ingin pergi.
Pernah terfikirkan untuk terus berjuang tanpa lelah, meraih mimpi dengan angan berupa idaman dan harapan. Mencari tahu jalan keluar terbaik dengan cara kembali tanpa melaluinya. Pahit.
Tapi, siapa tahu, bahwa jalan belakang adalah jalan yang benar, jalan yang di RidhoiNya, jalan sesungguhnya. Karena Jalan itu adalah jalan kemenangan yang sesungguhnya.
Untuk sebuah strategi matang dengan taktik jitu dalam harapan yang bermutu, tidak ragu, dan terus memburu. Aku, rencanaku, niatku, beserta doa-doaku. Kembalilah dalam dua. Romantis, namun tak Overdosis.

CUACA
Cuaca bagi kami adalah metafora. Menanyakan cuaca menjadi ungkapan yang digunakan saat masing-masing pihak menyimpan hal lain yang gentar diutarakan.
‘Bagaimana cuacamu?’
‘Aku biru.’
‘Aku kelabu.’
Keangkuhan memecah jalan kami, kendati cuaca menalikannya. Kebisuan menjebak kami dalam permainan dugaan, lingkaran tebak-menebak, agar yang tersirat tetap tak tersurat.
‘Bagaimana cuacamu?’
‘Aku cerah, sama sekali tidak berawan. Kamu?’
‘Bersih dan tenang. Tak ada awan.’
Batinku meringis karena berbohong. Batinnya tergugu karena telah dibohongi. Namun kesatuan diri kami telah memutuskan demikian: menampilkan cerah yang tak sejati karena awan mendung tak pantas jadi pajangan.
Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan kenyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan.
Share:

Sabtu Pagi



Syair Pagi
Selamat berakhir pekan, para penyair SP. Pagi sempurna tanpa secangkir kopi, hanya ada dalam puisi.
Telah aku tinggalkan tanda kehadiranku di hatimu. Kelak, setiap kau melihatnya, kau akan merindukanku.
— @sabdaliar
Lidahmu, embun yang selalu pagi, menyajakkan sejuk di telingaku, yang daun.
— @ChalanRedRock
Selepas pergimu, aku hanyalah sekujur pagi tanpa mentari, menggigil dalam kerinduan, meremang dalam kesendirian.
— @AdyBL
Cukuplah rindu merajuk senguk di fajar dingin, hangatnya cinta ada di setiap regukan kopi.
— @telukjingga
Kau rumah terindah tempat segala rasaku berpulang.
— @Keshakeshi
Di bawah teduh akasia, aku menukar suaramu dengan angin.
— @ama_achmad
Bunyi gelas beradu memecah hening rindu. Satu sendok kopi, dua sendok gula dan kenangan pun terhidu.
— @ama_achmad
pagi ini adalah hujan yang sepi. cinta demam lagi. rindu menikam-nikam ulu hati.
— @semut_nungging
Mendung bergelayut manja, mencari teman selepas hujan, adakah senyum pelangi terukir untuk kita?
— @Susi_SmileKitty
Cuap mesra embun pagi, menetes melunturi syahdu pilu.
— @katapuisi
Tiada yang lebih hangat dari airmatamu, Ibu, aku terlalu basah untuk merindukanmu pagi ini.
— @mikemustamu
Aku suka di sini, di dada bagian kiri, tempat segalanya dapat kulakukan, di mana namamu selalu kudenyutkan.
— @Om_Kelana
Tak ada yang hilang sedikitpun. Bahkan dalam ketiadaan, kau tetap ada bagiku, dalam setiap desiran sunyi aku mencatat namamu.
— @ciyecci
Pagi adalah lengan-lengan rindu, tak terjangkau pelukan, namun setia mendoakan
— @ciyecci
Kan kunamakan kau mentari, agar kelak cahayamu menuntunku dari sepi yang meniadakan tepi.
— @penatapbulan
Sementara mentari masih sibuk menyibak mendung pagi, rindu mulai menghapus pilu yang tak mau pergi.
— @yulialiman
Sebegitu dekat sebegitu erat, seperti itulah kita. Yang kelak diabadikan waktu hingga senja, menua.
— @Om_Kelana
Berlarilah ke arahku dengan segera, ada cinta yang perlu kita selamatkan, mungkin dalam sebentuk pelukan
— @indiejeans
seperti pagi-pagi sebelumnya, sepenuh semesta aku merindukanmu.
— @duniakecil_ku
Secawan embun tak lelah menyambut pagi, walau mentari mengusirnya pergi. Esok ia pasti kembali, mengawali hari
— @KimiWidya
Akulah lautan yang menguap; meninggalkan asin kenang, melupakan bentang nan kemilau, agar dapat menemuimu, langitku.
— @AdyBL
Ini tentang alam. Alam yang menuturkan keindahan tanpa tutur kata-kata
— @setaktak

 All tweet from @svlxx_

Share:

All About BMTH


This is me. Just like BMTH said : I'm the ocean, I'm the sea. There's a world inside of me.
I can't resist the collision of this tsunami. I'm looked beautiful outside, but when you see the underneath, you'll know i'm contaminated by the pollutan in the name of love. You can see in the media, that i'm as the reef looked solid, strong. But if you look closely, i'm just a weak creature, symbol of fragility of nothing.

This is me. I'm the forest. Mysteriously deep and easily burned by external causes.
I'm not the animal, that can run when the fire come. I'm just a rock in the forest-ignored by everything and just stay in a place, in the same place. I have dreamt to be a bird, can fly to anywhere he wants and surely, can sing his own song freely. But the reality ? once again i say, i'm just a rock. I'm easily broken by the heavy rain. Just like my heart, easily broken by the owner of the rain, her rain. Patheticly, i don't see the rainbow after it. I just see the cloud's hiding behind the mountain, with her sun.

I just became 2 of 3 places. Because i was only placed in the bottom, i mean bottom of you. And surely i can touch you by nothing, my daylight//my moonlight//my starlight. The sky, the happy sky.
Share:

Rasa / Paradox


Aku belajar di sekolah. Aku melihat guru mengajar, mendengarkan, dan mencoba memahami. Aku pun paham, dan aku bersemangat belajar serta berucap dalam hati, "Aku ingin menjadi Dokter suatu saat nanti."
Pulang sekolah aku lupa akan hal itu.

Aku dengan sepedaku bergegas menuju sekolah, latihan silat. Aku jatuh, bangun, jatuh, bangun, luka. Seperti itu terus, seakan kontinuinitas yang rajin berlangsung. Akhir latihan, guruku memberikan wejangan dan saran. Semangatku membara, serta berucap dalam hati, "Aku ingin menjadi Pesilat yang handal !"
Latihan selanjutnya aku lupa akan ucapku.

Aku mengaktifkan laptop, lalu meng-doubleclick-an cursor pada salah satu media player untuk musik. Aku pun mendengarkan lagu-lagu keras. Aku pun terpana, dan berucap dalam hati, "Keren! Aku ingin jadi Screamer!"
Lalu akupun malas berlatih.

Aku sempat iseng menggambar. Sketching tepatnya. Terinspirasi dari gambar-gambar di devianArt, aku pun mencoba gambar, entah gambar apa itu. Aku pun keasyikan menggambar, dan berkata dalam hati, "Suatu saat nanti aku akan jadi Seniman"
Lalu gambarku salah, dan tak ada penghapus. Aku pun menjadi malas.

Aku punya gitar dan aku terkadang memainkannya. Yah, beberapa lagu aku lancar memainkannya. Temanku sempat memujiku. Akupun girang dalam hati, dan berbisik, "Keren kali ya kalau nanti jadi Gitaris!"
Temanku itu meminjam gitarku, dan dia lebih handal dariku. Aku merasa rendah diri.

Aku suka bersepeda, bersepeda motor maksudku. Dari mulai jalan-jalan sendiri sampai bersama teman, aku suka itu. Seringkali aku kebut-kebutan di jalanan. Adrenalinku memuncak, dan aku berkata, "Mantap bro, gue harus jadi pembalap nanti!"
Lalu kulihat motor yang lebih keren menyalipku. Aku pun segan dan enggan membalapnya. 


ahmad saval
Share:

Those Words of Shit, From Cunts.


Recently, there are many people that candidating to be a House of Representatives member, or you can call it in Indonesian as 'DPR'. Besides that, many people also candidating to be Governor, Chief, or anything that related to the goverment. They're very different. Different people, different organization, different duty, etc. But they have a similarity, they are easily to give some promises to the people. Badly, when they get the position that they want, seems that they forget all of their promises. They do what they want. They do the corruption. They play with the girls, which you called them as whore. 

And many others, which are reflecting that the morality of Indonesian people (Goverment especially) is on the bad condition. I never said that i'm the good one. I realize that i like the others, i have some mistakes-also big mistakes. But while my 'good' is on, i just want to remind you, 
"Don't ever say the promises so easily". 

If you think that you can't fulfill your promise, you'd better keep your promise in silence. 



Ahmad Saval
Share:

Saya

Sebenarnya saya bimbang. Saya ini masuk kategori apa? Ada dengan seutuhnya, Ada dengan cela didalamnya, atau justru tiada mutlak? Sampai saat ini pertanyaan itu masih saya simpan, tak saya utarakan pada kedua telinga mereka, atau dalam kata lain, seseorangpun. Saya hanya mencoba menafsirkan setiap realita ini, dengan sepenuhnya mencoba berada di dalam diri sendiri, tak melirik pada orang lain, hingga nanti pada akhirnya saya akan tahu, kalau sebenarnya saya ini apa. Saya ini termasuk apa. Saya ini milik siapa. Dan saya ini siapa.
 
Saval Ahmad

Share:

Bahagia ?

 
 
 
Bahagia? Ya, mereka boleh mendefinisikan dalam berbagai macam kata, bahasa, pemikiran, atau bahkan perbuatan. Banyak insan yang berpikir, "kebahagiaan adalah mendengarkan musik", "kebahagiaan adalah bermain gitar", "kebahagiaan adalah berkeliling dunia", mereka sah-sah saja berpikir atau mengatakan demikian. Tetapi alangkah baiknya manusia melihat pada tingkat kebahagiaan. Mungkin jika berbicara tentang "bermain gitar" atau "mendengarkan musik" yang dapat kita lakukan sehari-hari, sehingga (mungkin) setiap harinya kita bisa berbahagia karenanya. Nah kalau patokan kebahagiaan mereka terlalu tinggi dengan pengorbanan yang cukup besar pula semisal berkeliling dunia? Secara rutinitas sendiri, kebanyakan manusia zaman sekarang ini lebih bekerja di perkantoran, terikat dengan tugas menumpuk dan tanggungan kewajiban, sehingga jika mereka punya patokan kebahagiaan seperti yang diatas, mereka pun sulit mewujudkannya. Dan jika sulit mewujudkannya, mereka akan sulit untuk tersenyum bahagia. Hari-hari mereka akan penuh dengan 'rengutan' atau 'cacian'. 

Seharusnya kita selaku manusia sadar, bahwa kebahagiaan dapat kita buat dan bentuk sendiri..

Karena kebahagiaan adalah sikapku
Karena kebahagiaan adalah pemikiranku
Karena kebahagiaan adalah keputusanku
Karena kebahagiaan, adalah aku


Ahmad Saval
Share:

Kebenaran, Subjektivitas, dan Objektivitas




Kebenaran


Jujur, terkadang saya suka bingung, apakah ada sesuatu yang 'kami' sebut sebagai 'kebenaran' ? Kalaupun ada, dimanakah letak pasti 'kebenaran' tersebut ? Hingga suatu detik, entah detik keberapa yang telah saya manfaatkan buat memikirkan hal ini, telah saya dapatkan arti dari 'kebenaran'. 
Kebenaran, adalah suatu keyakinan hati yang bebas kita ekspresikan dalam berbagai bentuk, dengan perpaduan yang indah dengan komitmen dan kenyataan yang berada pada lubuk hati terdalam, bukan tempat lain. 'Kebenaran' lebih cenderung bersifat subjektif, karena masing-masing persona memiliki pendapat 'kebenaran' dan tindakan 'benar' menurut mereka masing-masing. 

Hingga, saya harus memaklumi adanya 'kebenaran-kebenaran' yang amat berbeda antara orang lain dengan 'kebenaran' yang saya yakini. Namun setinggi-tingginya tingkat kemakluman saya, tetap saja berbatas. Jika 'kebenaran' saya terusik oleh 'kebenaran' orang lain, haruskah saya diam diri dan membiarkan 'kebenaran' itu dimakan oleh sesuatu yang orang lain anggap sebagai 'kebenaran', yang menurut saya adalah 'ego' ?

Subjektivitas dan Objektivitas

Subjektivitas, kata ini mengandung kata 'subjek' yang jelas-jelas mengartikan bahwa, subjektivitas adalah suatu pendapat yang dimiliki oleh seseorang yang ia yakini benar, tanpa bergantung pada sumber dari pendapat orang tersebut. Sementara itu, Objektivitas yang memiliki kata 'objek' didalamnya, adalah suatu pendapat yang dimiliki seseorang yang ia gantungkan pada realita dan kenyataan-atau dalam kata lain as real as the object. Ada beberapa orang yang cenderung bersifat objektif, bersifat subjektif, atau juga seimbang antar keduanya. 
Kalau saya ibaratkan keduanya, objektivitas adalah suatu kanvas, sementara subjektivitas adalah tinta-tinta yang terlukis didalamnya. Mengenai ketepatan ukuran kanvas tersebut, harus pas, tidak terlalu kecil (objektivitas terlalu kecil = mengkhayal berlebih) ataupun tidak terlalu besar (Objektivitas terlalu besar = kaku). Mengenai keindahan tinta-tinta yang ada didalamnya, keindahan yang terlukis tergantung pada kita masing-masing, mampukah kita membentuk suatu lukisan dari tinta-tinta tersebut, sehingga dapat terbentuk lukisan yang indah (Mampukah kita menempatkan dan menggunakan subjektivitas pada diri kita dengan efektif dalam pembentukan keindahan-keindahan dan kenyamanan pada realita kita). 
Mengenai penggunaan objektivitas yang tidak dibarengi dengan subjektivitas, ataupun sebaliknya, coba pikir, penggunaan objektivitas dan subjektivitas yang sedikit saja sudah tergolong tidak baik, apalagi tidak menggunakan mereka sama sekali. Jika kanvas (objektivitas) ada, namun tinta (subjektivitas) tidak ada, lantas apalah guna dari kanvas tersebut ? Sebaliknya. Jika tinta ada, namun kanvas tidak ada, yang ada justru tinta itu akan digunakan/diekspresikan pada tembok-tembok jalanan dan barang-barang yang seharusnya bukan sebagai tempat pengekspresian tersebut.
Sekali lagi, ini hanya bentuk pengekspresian diri dari 'kebenaran' yang ada di dalam diri saya, jika ada yang tidak setuju, mungkin makna 'kebenaran' dan bentuk 'kebenaran' pada masing-masing diantara kita memang berbeda. Pada akhirnya, siapalah saya ini ? :) 

Ahmad
Share:

Sebentuk Kesadaran Tentang Bosan

       
          Aku mati hari ini. Ya sobat, aku mati hari ini. Benar-benar mati. Mati yang sesungguhnya. Tepatnya dini hari tadi, kira-kira pukul dua lebih sedikit. Dalam perjalanan pulang, aku mengalami kecelakaan. Sebenarnya ketika itu aku tidak sendiri. Aku bersama seorang teman. Ia yang mengendarai motor dan aku yang membonceng. Sialnya ia tidak ikutan mati. Ia selamat walau sekarang masih kritis. Tidak perlulah aku ceritakan bagaimana kejadiannya secara detail atau bagaimana keadaan jasadku. Hal itu hanya akan membuat kamu ingin muntah. Tapi perlu aku ingatkan pada mu sobat, pakailah helm berlogo SNI!, kalau kamu masih ingin mengenali wajah mu sendiri.
            Jangan kamu tanya bagaimana rasanya sobat. Rasanya luar biasa sakit. Sampai batas-batas yang sudah tidak bisa diterima otak. Tapi lebih sakit lagi adalah menyadari bahwa masih banyak hal yang belum aku benahi dalam hidup ku. Setiap ingatan, sekecil apapun itu, selama kurang lebih dua puluh tahun masa hidupku diputar kembali. Ingatan itu dimampatkan hingga sepersekian detik saja. Lalu hilang. Lenyap begitu saja. Segalanya.
            Setelahnya hanya ada aku. Aku sebagai sesuatu yang tidak aku ketahui. Tanpa tubuh, tanpa akal, tanpa ingatan, tanpa pikiran, tanpa bentuk, tanpa identitas. Aku tidak juga merasakan apa-apa, aku tidak melihat apa-apa, aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak mencium apa-apa, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya sadar, bahwa aku ada. Aku hanya sebentuk kesadaran. Tidaklah perlu kamu pikirkan bagaimana cara ku (yang hanya sebentuk kesadaran) mengisahkan ini semua pada mu.
            Aku tidak lagi ingat tentang gambaran-gambaran surga dan neraka yang sering kali aku dengar. Padahal hikayat-hikayat itulah yang menjadi dongeng tidurku ketika kecil. Bagaimana para pendosa disiksa habis-habisan sampai batas yang tidak mampu mereka bayangkan atau bagaimana para kekasih Tuhan diberikan segala kenikmatan yang melebihi harapan mereka sendiri. Aku tidak lagi risau. Aku juga tidak lagi takut. Risau dan takut mungkin tertinggal bersama sisa-sisa otakku di jalan beraspal itu. Ya, semuanya memang tertinggal. Aku tidak perlu lagi. Aku hanya perlu kesadaran ini. Aku akan kembali. Kembali pada-Nya. Menyatu dengan-Nya. Menjadi Dia.
           
*****

            Aku dimana? Aku benar-benar takut, bahkan untuk bertanya dalam pikiran sendiri. Aku mendapati diriku ditengah kumpulan manusia. Ratusan manusia, tidak-tidak, ribuan manusia, atau mungkin jutaan. Entahlah, terlalu banyak makhluk disini. Tempat yang luar biasa luas, tidaklah seumur hidup aku pernah melihat yang model begini. Ketika memandang ke utara maka akan sampai ke selatan, ketika memandang ke barat maka akan sampai ke timur, begitu pula sebaliknya. Ahh, bahkan aku belum pernah bisa menentukan arah mata angin.
            Aku memberanikan diri. Menebak-nebak dalam hati. Apakah dunia sudah kiamat? Semua manusia mati? Apakah ini sebuah persidangan akhir yang tertulis di dalam kitab suci? Atau aku hanya bermimpi? Aku enggan bertanya pada orang-orang telanjang disekitarku. Mana mungkin aku yang waras bertanya alamat pada orang gila tanpa busana. Atau mereka yang waras dan aku yang gila. Mungkin saat itu memang yang waras tidak berbusana. Ohh, baguslah ternyata aku juga tidak berbusana, setidaknya aku sama gila dengan yang lainnya. Tak apalah gila, asal sama-sama.
            Benar dugaanku. Manusia sudah kiamat. Peradaban manusia sudah usai. Aku mulai risau. Manusia-manusia telanjang lain juga risau. Aku takut, meraka juga ikutan takut. Aku gerah, mereka juga terlihat gerah. Gawat sekali, aku benar-benar lupa apakah tadi aku sudah sholat. Ahh, aku benar-benar lupa kapan terakhir kali aku sholat, atau mungkin aku memang tidak pernah benar-benar sholat.
            Tuhan berdiri dipodium-Nya. Disamping-Nya para malaikat berjajar rapi. Manusia-manusia telanjang termasuk aku terkaget-kaget menatap Tuhan. Inilah misteri terbesar dalam sejarah manusia. Eksistensi Tuhan. Segala rasa bercampur-baur dalam hatiku. Kagum, kaget, takut, malu, bahagia, cinta, benci. Bahkan perasaan-perasaan yang tidak terdefinisi. Tuhan memanggili satu-satu dari kami. Satu-satu kami dihadapkan kepada Nya. Diawali nama para nabi, lalu orang-orang suci, lalu orang-orang yang tidak terlalu suci tapi masih dalam golongan suci, lalu yang tiga per empat suci, dilanjutkan yang setengah suci setengah biasa saja, kemudian yang agak-agak suci, berikutnya yang sedikit suci.
            Kurang lebih 40 juta tahun sebelum akhirnya namaku dipanggil. Entah aku berada digolongan suci yang mana. Aku sudah mulai bosan ketika itu, manusia-manusia telanjang lain yang belum dipanggil juga kelihatan sama bosannya. Bahkan Tuhan sudah pula terlihat bosan (salah-Nya sendiri kenapa menciptakan manusia begitu banyak). Aku bergegas. Meneguhkan hatiku sesaat agar terlihat lebih percaya diri dimata Tuhan. Tuhan bergumam-gumam cukup lama. Melihat catatanku, lalu memberi isyarat pada dua malaikat yang sedari awal setia disisi-Nya. Aku takjub melihat kesetiaan kedua malaikat itu. Hanya mereka yang tidak sedikitpun menunjukan wajah lelah atau bosan selama 40 juta tahun terakhir ini. Mereka mencengkram kedua lenganku agak kasar. Masing-masing satu malaikat pada satu lengan. Aku ingin protes, tapi takut, jadi aku hanya diam dan terseok-seok mengimbangi langkah mereka yang cepat. Kedua malaikat itu menyeret ku ke belakang podium. Dari situ aku bisa melihat punggung Tuhan. Ia tidak terlihat gagah dari belakang.
            Kedua malaikat itu terus menyeret ku. sampailah kami tiba di sebuah tepian. Sebelumya aku menyangka tanah maha luas itu tidak memiliki tepi, tapi ternyata ada juga tepinya. Tepian itu adalah batas antara tanah maha luas dengan sebuah jurang yang juga maha dalam. Aku mulai berpikir kalau jurang itu tidak memiliki dasar, kalaupun ada dasarnya, aku tidak berani membayangkan apa yang berada di dasar sana.
            “Tempat para pendosa adalah neraka”. Teriak salah satu malaikat sambil mendorong tubuhku ke dalam jurang. Aku tidak begitu kaget. Skenario ini seperti sudah aku duga sebelumnya.
            Aku terjatuh ke dalam jurang maha dalam itu. Melayang-layang sambil menggapai-gapai udara kosong disekitarku. Makin lama semakin gelap. Aku jatuh. Hanya jatuh.
            Entah berapa lama sudah aku terjatuh. Aku masih saja terjatuh. Mulai bosan rasanya. Entah berapa lama lùagi akan sampai di dasar. Setelah kira-kira melayang selama puluhan tahun (ahh, entahlah sejak awal tadi aku sudah tidak lagi punya patokan waktu, matahari begitu dekat dengan kepala, jadi sudah tidak bisa dipercaya), akhirnya aku membentur sesuatu. Tubuhku hancur, bukan main sakitnya.


Wellcome to the hell

            “Wahai pendosa takutlah kamu, ini adalah neraka, tempat segala rasa sakit dihidangkan selagi hangat”. Sesosok makhluk besar menakutkan menghampiri tubuhku yang masih kesakitan akibat terjatuh tadi. Rupanya itu adalah malaikat penjaga neraka. Seperti katanya, maka aku menjadi takut. Entah apa yang membuat ku takut. Pokoknya aku takut saja. Aku diseretnya dengan sangat kasar. Ia menjadikan rambut ku sebagai tali kekang. Aku tidak punya daya untuk melawan. Tubuhku terus diseret diatas lantai neraka yang panas dan berapi-api. Sebagian kulit dan dagingku sampai tercecer sepanjang jalan.
            Mulai saat itu aku disiksa tanpa henti. Dipukuli sampai kepala hancur, ditusuk besi panas, dikuliti, dicungkil mata, dicabut kuku dan gigi, dicukur rambut model 80-an (yang satu ini aku bercanda) atau disuruh memakan api dan darah kotor. Begitu terus selama kurang lebih 40 juta tahun (aku sudah tidak punya patokan waktu sobat, jadi aku asumsikan bahwa waktu paling lama adalah 40 juta tahun). Lalu aku bosan. Ya, lagi-lagi aku bosan. Acara cungkil mata dan kawan-kawannya sudah tidak terasa menakutkan lagi. Malaikat penjaga neraka sekarang jadi lebih mirip badut ketimbang ogre yang mengerikan. Sampai suatu ketika malaikat yang biasa menusuk-nusuk bokongku dengan besi panas datang menghampiri ku. Tapi kali ini ia tidak membawa besi panas. Ia mengantarkan aku sampai kedepan pintu gerbang neraka, dan kemudian menendang bokongku keras-keras sampai aku terpental jauh. Jauh sekali.

Berapa lama surga akan membuat mu bahagia?

            Dijemput oleh dua makhluk paling cantik yang pernah aku lihat. Aku berani bertaruh tidaklah ada yang menyamai kecantikan mereka di dunia. Makhluk-makhluk cantik itu membasuhi wajahku dengan air segar. Air yang sangat segar. Pokoknya tidak ada pula air di dunia yang menyaingi kesegarannya. Dibersihkan pula sisa-sisa neraka dari tubuhku.
            Ketika memasuki gerbang, aku disambut oleh banyak sekali makhluk-makhluk maha cantik. Disambut seperti raja. Dielu-elukan, diagung-agungkan, disanjung-sanjung. Aku takjub, tidak ada satu pun aku lihat hal buruk di surga, tidak pula aku cium bau-bauan yang buruk, tidak pula suara atau omongan buruk. Semuanya mulia, semuanya indah, semuanya sempurna.
            Setiap hari, setiap jam, setiap detik, bahkan setiap satuan waktu yang tidak dapat dibagi lagi, dipenuhi oleh kenikmatan. Kenikmatan tanpa ada batasnya. Aku sampai heran sendiri, sebenarnya kebaikan apa yang pernah aku lakukan sampai aku diganjar kenikmatan yang banyaknya tidak dapat ditakar. Maka bertanyalah aku pada salah satu bidadari yang dengan setia menyisiri rambutku.
            “Wahai bidadari, tahu kah engkau apa yang sesungguhnya menjadikan aku penghuni surga?”
            “Hmm, mungkin semasa hidup, tuan adalah ahli ibadah”.
            “Rasa-rasanya aku manusia yang jarang sholat”.
            “Atau mungkin Tuan rajin berpuasa”
            “Catatan puasaku juga tidak terlalu baik”
            “Hmm, pasti tuan semasa hidup adalah seorang dermawan yang ikhlas”
            “Aku memang pernah memberi uang kepada seorang pengemis, tapi setelah itu aku menyesal sendiri karena tidak punya receh untuk membeli rokok”. Bidadari itu kelihatan agak bingung. Ia seperti sedang memikirka alasan-alasan lain yang biasa membuat manusia bisa masuk surga.
            “Nah, mungkin karena tuan seorang yang jujur, buktinya tuan mengaku kalau tuan menyesal telah bersedekah”. Bidadari itu berkata sambil tersenyum lembut padaku.
            “Ahh, aku sering kali berbohong pada ibuku tentang banyak hal”
            “Nah, tuan jujur lagi bahwa tuan sering berbohong”.
            “Wahai bidadari yang luar biasa cantik, apakah syarat termudah untuk masuk surga?”
            “Hmm, sepertinya tuan cuma butuh iman, tuan harus percaya pada eksistensi Tuhan dan mengakui-Nya sebagai Yang Esa. Apakah tuan percaya?”
            “Ya, aku percaya pada eksistensi-Nya, aku meyakini bahwa ada sesuatu yang menciptakan tapi tidak diciptakan, yang mengatur tapi tidak diatur, yang menggerakan tapi tidak bergerak, yang merubah tapi tidak berubah. Aku tidak meragukan itu, aku meyakini bahwa segala yang baik berasal dari sesuatu itu. Dan yang baik itu kembali kepada sesuatu itu. Kembali menjadi Dia. Dia yang esa. Ada Tuhan dalam setiap diri. Seperti yang di atas begitu juga yang di bawah”.
            “Nah, alasan itu yang mungkin membuat tuan berada di surga”.
            “Aku tidak yakin, rasanya aku tidak benar-benar pantas”.
            “Kenapa?”
            “Karena aku tidak pernah benar-benar menyembah-Nya. Logika-ku terlalu sombong untuk direndahkan. Aku tidak mau menyembah sesuatu yang tidak aku kenal secara logika”.
            “Tapi Ia memang tidak butuh disembah, makhluklah yang butuh menyembah-Nya”.
            “Tapi aku sombong, dan sombong adalah sifat iblis. Tempat iblis adalah di neraka. Abadi”.
            “Tuan salah”.
            “Apanya yang salah?”.
            “Iblis tidak berada di neraka saat ini”.
            “Wahai, bidadari yang luar biasa cantik, tidakkah engkau sedang mengecoh ku”
            “Wahai, manusia yang mulia, kami para bidadari tidak diberi kemampuan untuk berdusta atau mengecoh, saat ini iblis yang kau kenal sedang berada di sisi-Nya”.
            “Lalu bagaimana bisa iblis sang musuh abadi bisa berada di sisi-Nya?”
            “Karena Ia lebih mulia dari yang lain”
            “Tunggu dulu, tapi apakah sang iblis benar-benar ada secara wujud, atau hanya representasi dari sifat-sifat buruk manusia?”
            “Wahai manusia yang mulia, apakah menurut mu malaikat benar-benar ada atau hanya representasi dari sifat-sifat terpuji manusia? Apakah aku ada atau hanya representasi dari segala konsep kecantikan dan keindahan yang mampu dikhayalkan manusia? Apakah Tuhan benar-benar ada atau hanya representasi dari segala kesempurnaan, keabadian, kekuatan, dan keniscayaan yang mampu dipikirkan manusia? Apakah Tuhan ada dengan sebenarnya, atau hanya ada dalam pikiranmu? Apakah kamu, aku, mereka, dan semesta ada dengan sebenarnya, atau hanya ada dalam pikiran Tuhan, dan ketika Tuhan berhenti memikirkan kita maka kita menjadi tidak ada?”
            “Ya, suka-suka Tuhan lah. Aku lelah memikirkannya. Wahai bidadari yang cantik tiada tara, tapi bagaimana mungkin iblis yang menjadi sumber segala kesengsaraan manusia, pembunuhan, pembantaian, perampasan, pemerkosaan, pelecehan, penghinaan, perseteruan dan peperangan, bisa begitu mulia disisi Tuhan?”.
            “Kenapa kamu jadi menyalahkan iblis atas itu semua?”
            “Apakah seharusnya tidak begitu?”
            “Beribu maaf wahai manusia yang mulia, tapi kalian umat manusia, selalu saja mencari pembenaran atas segala sesuatu yang kalian lakukan secara sadar”.
            “Tapi dimana letak kemuliaan iblis itu wahai bidadari?”
            “Iblis adalah yang memisahkan telur-telur busuk dari dalam keranjang. Iblis yang memisahkan kerikil dari beras. Tuhan telah memuliakan kalian wahai manusia. Ia memberikan kepada manusia sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk-Nya yang lain. Ia memberikan kalian pilihan. Kalian manusia, selalu bebas memilih untuk menjadi diri kalian. Dirimu adalah apa yang kamu pilih, bukan apa yang Tuhan ciptakan. Ketika Adam diciptakan iblis menolak merendahkan diri pada Adam, maka terkutuklah sang iblis. Mulai saat itu Ia mengenakan jubah keterhinaan. Iblis memakai juga topeng kebencian-Nya. Lalu iblis bersumpah akan menggoda manusia sepanjang masa. Jadilah Ia sesuatu sumber keburukan, yang dihina, dan dicerca selamanya. Ia terusir dari surga dalam wujud terburuknya. Tapi asal engkau tau wahai manusia, itu semua adalah sebuah bentuk ketaatan iblis kepada Tuhan, itu semua adalah bentuk ibadahnya. Seperti juga sholat-mu, puasa-mu, sedekah-mu. Ia telah menunjukkan siapa-siapa saja yang setia, dan siapa-siapa saja yang memalingkan wajahnya dari Tuhan. Maka hari ini janganlah kamu membanding-bandingkan kemuliaan kamu dengan dia”. Saat itu juga aku tercekat, tidaklah pernah aku sebelumnya berpikir kesana.
            “Berarti, segalanya hanya sebuah skenario? Sebuah konspirasi besar? Lalu apalah artinya manusia wahai bidadari? Apakah kami hanya mainan Tuhan saja?”
            “Suka-suka Tuhan lah. Hmm, tidakkah kamu mensyukuri segalanya wahai makhluk paling mulia? Jika saja skenario itu tidak dijalankan, itu artinya kalian manusia akan dilahirkan dan tumbuh besar di surga ini. Kalian akan sangat terbiasa dengan surga. Lalu apakah surga masih akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kalian? Surga menjadi istimewa karena kalian telah menjalani hidup  didunia.
            Aku terdiam. Bidadari itu tersenyum.

*****
           
Sampai Tuhan Bosan
           
            Setelah hari itu aku hidup berdamai-damai saja di surga. Surga memang akan selalu damai. Aku nikmati kenikmatan-kenikmatan yang tersedia tanpa takut akan berkurang. Begitu terus, hari-hari ku diisi dengan kenikmatan dan puji-pujian kepada Tuhan. 100 tahun, 1000 tahun, 10.000 tahun, 100.000 tahun, 1.000.000 tahun, 40 juta tahun. Tidakkah aku bosan? Ya, aku bosan, penghuni surga yang lain juga terlihat bosan, para malaikat bosan, bidadari-bidadari bosan, dan akhirnya Tuhan bosan. Lalu Ia berhenti berpikir.
Share:

Taman Merah Muda Dian

Tidak ada orang lain yang menganggap senin sore begitu special lebih dari seorang Dian. Pria lajang akhir duapuluhan dengan xenophobia, mudah panik, dan kebiasaan buang air besar di celana, jika sedang berdekatan dengan anjing dan wanita. Pria tipikal yang sering mengalami bullying semasa SMA.

Dian bekerja  di sebuah lembaga pemerintahan tingkat kota. Ketika ada orang yang berbasa-basi menanyakan jabatan apa yang didudukinya, Dian hanya mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti e-ek.. atau me-ek. Selama tujuh tahun bekerja, ia hanya menjalani satu pekerjaan. Menyalin surat. Setiap hari kerja ia harus menyortir setumpuksurat dan menyalinnya dengan mesin tik. Begitu  selama tujuh tahun terakhir.  Yang ia lihat mulai dari hari senin sampai hari jumat, jam delapan pagi sampai jam lima sore hanya surat-surat dinas dengan bahasa yang kaku, mesin tik tua yang berkarat, dan seorang wanita paruh baya berwajah kotak dengan kaca mata kotak yang selalu memakinya apabila ia salah mengetik kata Dinas menjadi DiansSatu Dian dengan celana penuh tahi sudah cukup, tak perlu dibuat jamak.
         
yang cukup membuatnya senang selama tujuh tahun ini hanya harumnya hari gajian. Gajinya yang sedikit dan mengenaskan. Bahkan tidak cukup untuk membeli sepatu kulit baru, sehingga Dian tetap harus memakai sepatu kulit lamanya. Sepatu itu tampaknya bisa membuat kaki kita diamputasi jika terlalu lama dipakai.
         
Pada suatu senin sore yang biasa, Dian berjalan pulang melewati rute biasa untuk menunggu bus kota yang biasa pula. Untuk bisa mencapai tempat pemberhentian bus, ia harus melewati sebuah taman kecil, tempat biasanya para lansia dan anak-anak berjalan sore, lalu ia juga harus melewati sebuah pasar tradisional yang ramai, lengkap dengan seorang tukang obat botak yang selalu menawarinya minyak penumbuh rambut. Senin sore yang sama seperti senin sore lain selama tujuh tahun terakhir. Yang berbeda, hari ini Dian harus berjalan tanpa alas kaki karena sepatu tua miliknya menganga lebar. Jahitan sepatunya lepas. Sepatu kulit tua itu seperti ingin sekali menelannya bulat-bulat. Telapak kakinya terasa sakit karena tidak terbiasa tanpa alas kaki. Ketika sampai di sekitar taman, ia mencari tempat untuk duduk sejenak. Sambil tertatih-tatih menahan rasa pedih di telapak kakinya, ia berjalan menuju sebuah bangku taman kosong. Ia duduk lalu mengusap-usap kedua telapak kakinya, sambil celingukan mencari sesuatu untuk memperbaiki sepatu sialnya itu agar mau dipakai lagi, setidaknya sampai tiba di rumah.
         
Ketika Dian sedang sibuk mengakali sepatu keparatnya itu, ia dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba saja menyapanya.
         
“Pasti tersiksa sekali harus memakai sepatu itu sepanjang hari?” Sapa seorang wanita yang langsung duduk disamping Dian.
         
Dian hanya melongo sambil memandangi wanita itu.
         
“Kamu boleh memakai punyaku kalau kamu mau.” Menawari Dian sepasang sandal yang baru saja ia copot dari kedua kakinya yang mungil.

          “e-ek…. me-ek….” Dian mencoba dengan sangat keras untuk mengucapkan sesuatu.

          Wanita itu langsung menyodorkan sepasang sandal jepit mungil merah muda kepada Dian. “Aku sudah terbiasa berjalan-jalan disini tanpa alas kaki.” Kata wanita itu sambil tersenyum.

Senyumnya begitu lembut dan menenangkan, hingga sepertinya wanita ini tidak membuat Dian ingin buang air besar.

“Hei, kamu menduduki bunga yang baru saja aku petik.”  Pekik lembut wanita itu, yang saking lembutnya sampai terdengar seperti nyanyian ditelinga Dian.

“e-ek…. me-ek….”

“Sudahlah, hmm… aku harus segera pulang, sudah hampir malam, kamu kan juga harus cepat-cepat pulang.” Kata wanita itu sambil mengambil bunga-bunga yang tadi terduduki oleh Dian.
         
          Wanita itu berjalan pergi sambil memegang bunga-bunga tadi ditangannya. Belum seberapa jauh ia melangkah, ia kembali menoleh kearah Dian dan tersenyum, lalu melemparkan bunga-bunga yang dipegangnya kedalam tempat sampah yang berada tepat disampingnya. Lalu wanita itu kembali berjalan menjauh.

          Perjumpaan yang singkat tapi indah. Pikir Dian

          Dian masih saja terdiam, ia terus menatap kearah perginya wanita itu. Sampai akhirnya wanita itu tidak terlihat lagi, bersamaan dengan matahari sore yang terbenam dengan malas. Benar-benar senin sore yang indah untuk seorang Dian.



          Senin sore itu benar-benar special untuk Dian, sore itu ia berjalan tanpa alas kaki sampai rumah. Ia menenteng sepasang sandal pemberian wanita itu dengan wajah yang amat bahagia. Seperti seorang atlet dengan piala emas ditangannya. Bahkan penjual obat botak yang biasa menawarinya minyak penumbuh rambut menjelma jadi pria tampan lengkap dengan rambut ikal dan jambang halus. Sepertinya hari ini Tuhan baru saja menang lotere, lalu membagikan kecantikan dan ketampanannya kepada setiap makhluk dengan cuma-cuma.

          Begitu sampai di rumah, Dian langsung masuk ke kamarnya, lalu memandangi sepasang sandal merah muda itu bersama hatinya yang berbunga-bunga. Setelah sekian lama berkutat dengan hitam dan putih saja, akhirnya Tuhan menghadiahkan suatu sore merah muda untuk Dian. Sore yang begitu manis, yang membuatnya tidak ingin tidur malam ini. Ia ingin menghabiskan manis hari ini sendirian saja. Ia tersenyum sendiri, lalu bercakap-cakap dengan entah siapa. Sebuah percakapan imajiner yang hanya dimengerti oleh Dian dan Tuhan. Ia terus melakukan itu sepanjang malam, sampai lupa membersihkan kotoran yang menumpuk didalam celananya.

***
          Keesokan harinya, pada jam yang sama seperti kemarin, Dian kembali duduk dibangku taman itu. Ia menunggu wanita yang kemarin menyapanya. Ia masih menenteng sandal pemberian sang wanitatapi hari ini sepatu keparat miliknya sudah ia perbaiki. Ia sangat berharap bisa bertemu dengan wanita itu sore ini. Ia ingin mengembalikan sandal milik wanita itu dan setidaknya mengucapkan terima kasih. Semalaman Dian berlatih keras untuk mengucapkan frase sederhana itu.
         
          Dian terus menunggu, dalam diam. Ia sudah terbiasa mengacuhkan segala sesuatu yang ada di sekitanya, dan hari ini hal itu terbukti sangat membantu. Ia tidak sedikitpun merasa jenuh. Ia hanya ingin menunggu.

          Ketika ia sadar wanita yang ia tunggu tidak akan datang sore itu, ia segera bergegas pulang. Entah apa yang membuatnya tau kapan ia harus pulang dan berhenti menunggu. Selama ini Dian tidak pernah memakai jam tangan, bahkan mungkin ia tidak tau caranya membaca jam, tapi ia selalu tepat waktu. Ia tidak pernah sekalipun terlambat sampai kekantor. Sepertinya ia punya intuisi yang tajam tentang waktu.
         
          Keesokan harinya, masih pada jam yang sama, Dian tetap datang ke taman yang sama dan duduk di bangku yang sama. Untuk menunggu wanita yang sama, dalam diam yang sama, dan perasaan yang sama. Lalu karena kesadaran akan ketidak hadiran sang wanita ia pun kembali pulang, dengan masih menenteng sandal mungil pemberian sang wanita lengkap dengan ucapan terima kasih yang dilatihnya setiap malam.

          Begitu juga keesokan harinya

          …dan besoknya lagi

          dan besoknya lagi

dan besoknya lagi

          Hingga akhirnya senin sore yang lain tiba dan Dian masih dengan setia menunggu sang wanita di taman itu, ia tetap duduk di bangku yang sama dalam diam yang sama.

          Dan wanita itu datang.

          “Hei ternyata kamu ada disini, sepertinya sepatu mu sudah bisa dipakai lagi” Sapa wanita itu, ditambah sebuah senyum yang membayar setiap detik penantian Dian selama seminggu ini.

          “e-ek…. me-ek….”

          “Sepertinya setiap senin sore kamu ada disini”

          “Y-ya…” Balas Dian seraya menyembunyikan kegugupannya. Ini kali pertama untuk Dian merasakan sesuatu bergerak lembut didalam dadanya, sesuatu yang begitu lembut tapi kuat. Semoga bukan semacam rasa mulas.

          “Setiap senin sore taman ini selalu sepi, hanya beberapa orang iseng yang datang, dan aku salah satunya.” Wanita itu berbicara dengan suara yang hampir menyerupai bisikan. Suaranya membuat Dian ingin terdiam selamanya.

          “Y-ya…” Dian mencoba menanggapi dengan gugup.

          “Apakah kamu sedang menunggu sesuatu?” Tanya wanita itu sambil memainkan ujung-ujung roknya. “Seorang wanita misalnya”

          “em-e…ek” Jawab Dian gugup. Ya aku sedang menunggu mu, sudah satu minggu terakhir aku menunggu mu disini. Pikir Dian

          “Aku juga sedang menunggu.” Bisik wanita itu. “Kamu tau sudah berapa lama aku menunggu disini setiap senin sore?” Kata-katanya dihentikan oleh setitik kecil air mata. “Aku sudah menunggu selama tujuh tahun… Ya aku mengghitungnya, bahkan setiap detiknya. Aku selalu menunggu dia disini, tidak peduli sore itu cerah atau hujan, panas ataupun ada badai… Aku terus menunggu, dan akan terus menunggu”

          Dian hanya terdiam.

          “Kamu tau seberapa menjemukannya menunggu?” Tambah wanita itu, yang terdengar seperti sebuah pertanyaan retorik bagi Dian. “Apalagi bila yang kamu tunggu adalah seseorang yang tidak kamu tau pasti kedatangannya, entah ia akan datang atau tidak. Seseorang yang tidak tau kalau kamu sedang menunggunya dan memperhatikannya dari kejauhan.” Tutur wanita itu sambil mengalihkan pandangannya ke sisi lain taman.

          Dian masih saja teriam, dan ini merupakan hal yang biasa terjadi padanya.

          “Aku mengenal dia tujuh tahun lalu disini… tidak, aku tidak benar-benar mengenalnya, lebih tepatnya aku melihat dia tujuh tahun lalu disini. Tepat disini.” Suara wanita itu sekarang terdengar begitu lirih, seperti hilang terbawa angin sore. “Sejak senin sore tujuh tahun lalu itu, aku selalu menghabiskan senin soreku disini. Aku selalu menunggu dia disini, dan pada setiap senin sore aku selalu memperhatikannya dari sini. Berharap ia melihat kearahku lalu pandangan kami saling bertemu, tapi percayakah kamu hal itu tidak pernah terjadi?” Wanita itu kembali melancarkan pertanyaan retoriknya.

          Dan Dian masih saja terdiam. Mungkin Diam adalah salah satu keahliannya, selain buang air dicelana.

“Dia tidak pernah dengan sengaja atau tidak mengarahkan pandangannya kesini. Dari jutaan kemungkinan, tidak satupun yang mengarahkan pandanganya kesini.” Tukas wanita itu sambil menunjuk kedua matanya dengan agak kesal. “Mungkin Tuhan menyembunyikan aku dari penglihatanya, hingga ia hanya melihat bangku kosong.”

Suasana senin sore itu tiba-tiba saja menjadi begitu hening. Seperti ada sebuah sekat kedap suara yang memisahkan mereka berdua dari dunia luar.

Sampai suaranya memecah kebisuan. “Hingga setelah kira-kira tiga tahun aku jalani rutinitas itu, pada suatu senin sore dia tidak datang. Senin sore berikutnya lagi dia juga tidak datang. Begitu juga senin sore berikutnya, dia tetap tidak datang.”

Terjadi lagi, sebuah jeda

“Tapi tidak satu senin sore pun aku lewatkan tanpa menunggu dia disini.” Kata wanita itu, memecah kekosongan, suaranya terdengar lebih kuat dari sebelumnya. “Hingga pada suatu senin sore yang lain…”

Lalu terjadi lagi, sebuah jeda panjang yang membuat Dian merasa tidak nyaman. Rasanya waktu ikut berhenti ketika wanita itu berhenti bicara. Seperti menjebaknya dalam ketiadaan.

“Hingga pada suatu senin sore yang lain setelah lebih dari satu tahun, ia datang lagi.” Lanjut wanita itu mengakhiri jeda panjang yang barusan saja tercipta, suaranya kembali terdengar lirih. Bahkan lebih lirih dari sebelumnya. “Ya akhirnya dia datang lagi.”

Dan lagi-lagi terjadi, sebuah jeda yang memuakan. Setidaknya Dian tau satu hal.Wanita itu suka sekali menghentikan waktu.

“Tapi dia tidak datang sendiri seperti biasanya. Dia menggendong anak kecil itu dan menggandeng perempuan itu.” Lanjut wanita itu tiba-tiba, sambil menunjuk kearah satu keluarga yang sedang bermain di sisi lain taman dengan gembira.

Dian dengan enggan melihat kearah wanita itu mengarahkan telunjuknya. Laluterjadi lagi. Sebuah kekosongan. Lebih kosong dan lebih panjang dari sebelumnya. Hingga wanita itu kembali beretorika. “Kamu tau seberapa menjemukanya menunggu?” Kata wanita itu memecah kekosongan. Membuat Dian tahu satu hal lagi tentang wanita itu. Dia benar-benar suka beretorika.

Kali ini Dian menggelengkan kepalanya.

“Apalagi jika orang yang kamu tunggu tidak memberikannmu sepasang sandal ketika sepatu yang kamu pakai rusak jahitannya.” Jeda keparat itu terjadi lagi “Apalagi bila kamu bahkan tidak tau namanya… dan kamu tidak tau apa-apa tentang dia, tapi kamu tetap menunggunya… bahkan selama lebih dari tujuh tahun yang menjemukan”

Kembali lagi, sebuah jeda panjang yang memuakan. Kekosongan yang paling panjang yang pernah Dian rasakan. Ketiadaan yang membunuh segala sesuatu yang ada.

Hingga akhirnya wanita itu melanjutkan dengan suara yang sudah kembali normal. “Ah, sudahlah, sudah terlalu sore untuk menunggu. Aku harus pulang, kamu kan juga harus segera pulang, dan satu hal lagi” Kali ini wanita itu sudah bisa tersenyum seperti senin sore lalu. “Kamu boleh menyimpan sandal itu untuk kenang-kenangan, aku masih punya banyak di rumah.”

Wanita itu pergi,

Dian seperti kehilangan beberapa detik dalam hidupnya. Ia merasa telah meloncati beberapa detik itu tanpa sadar. Ada sebuah kepingan puzzle yang hilang, yang membuatnya sulit mengartikan dunia di sekitarnya.

Ia terjebak dalam kebisuan. Kali ini sendiri.

Sampai sebuah suara berat mengagetkannya. “Sedang menunggu sesuatu nak? Bapak juga sedang menunggu seseorang”

Seorang kakek lengkap dengan sapu lidi bergagang, sarung tangan, dan seragamoranye tiba-tiba saja telah duduk tepat di samping Dian.

Dian mengernyit lalu pergi dalam ketergesaanTujuh hari sudah cukup bagi ku.Pikir Dian


***

 Inspirasi dari cerita kawan lama.
Penulis : Ahmad Saval

Share: