Bayangan



Terjebak dalam dimensi lain
seperti berada dalam ruang dan waktu yang salah, semua terasa berlalu begitu cepat,
sedangkan momen-momen dalam hidup seperti melambat, dan akupun tertinggal oleh bayanganku sendiri.

Kehadiranmu layak sebuah fenomena ruang jiwa
bagiku kau bagaikan hologram, bisa kulihat namun tak bisa disentuh
namun keberadaanmu bukan lah sebuah issue atau fatamorgana
bahkan dirimu lebih nyata dari diriku sendiri.

Biasnya dunia kita adalah disintegrasi waktu
dan kebersamaan semu kita ini hanyalah suatu stimulan dalam perjalanan hidup
yang menjadi candu sesaat bagi jiwa,
dan seperti orang yang mabuk, kita seperti didunia yang berbeda
saat tersadar nanti, kita pun mengerti bahwa tadi hanyalah mimpi
meski berharap ilusi dan fantasipun bisa menjadi realitas.

Aku tak punya jawaban atas ketidakberuntungkanku,
mungkin kehadiranmu hanyalah sebuah anomali dalam hidupku,
jika tidak pastilah akan ada sebuah harmoni diantara kita.

Haruskah aku membengkokkan waktu agar bisa bersamamu
meskipun aku bisa melakukan lompatan kuantum ke dalam dimensimu
tapi tetap saja aku tak bisa merubah kenyataan duniamu
bahwa kaupun memiliki moment hati yang telah berlangsung sebelum aku ..


Jakarta, 09th Dec 15
Share:

Saval De Coffe



Menyeduh cangkiran kopi spesial

Saval De Coffe katanya

Buih mengepul

Berasap melesung

Yaiks!

Panas 12 celcius

Termometer regang garis bujur

Melilit lambung dimandi sauna

Tiga kubik es batu menenggarai

Pahlawan super loncat kesiangan

Globalisasi sudah tergusur balok salju

Mengapa masih ada yang kabur?

Ah, arang tambang meluncur di lidah

Taburi sejumput pemanis ekstrak

Bubuk gula searoma kayu manis

Tidaaak!

Kenapa masih saja sama?

Kurang mumpuni jampi-jampinya?

Atau perlu kafein disogok biar hengkang?

Nyatanya, keabadian mencintai kepahitan

November 2015

Ambigu Hidup
Share:

Rindu



Aku bertaruh bahwa semua yang kau ketahui tentang kita adalah nol besar
Aku bertaruh bahwa anggapanmu akanku-dari atas hingga bawah-benar benar salah
Aku bertaruh bahwa ucapanku dulu, hanya menjadi sampah dalam pikiranmu
Aku bertaruh bahwa namaku hanya mewakili kesedihanmu saja

Hari itu, aku meninggalkan sesuatu yang sempat kita anggap sebagai kebahagiaan
Mungkin kau merasakan sakit akan ucapan dan sikapku pada hari itu
Mungkin kau merasakan sakit akan janji-janji yang kuingkari
Namun

Pernahkah kau berpikir, mengapa saat itu aku tak mengucapkan alasan apapun
Mengapa saat itu aku berani mengutarakan sampah yang telah aku pendam berhari-hari

Aku hanya ingin kita bahagia dengan semestinya, tersenyum dengan semestinya
Tersenyum karena situasi, bukan karena tuntutan
Bahagia karena kenyataan, bukan karena harapan




Ahmad Saval, 13 Oktober 2015
Share:

Selagi Kau Lelap



“Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu.

Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kesutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal?

Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir tiga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 4.354.560.000

Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantasis kalau ditarik dalam skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi…

Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu memberikan itu.

Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.

Aku tak pernah terlalu tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering berada di situ. Entah siapa. Mungkin guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling. sudah. Stop! aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretense? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai Tanah Perjanjian.

Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.

Begitu banyak yang ingin kubicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang… tak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan? Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.

Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.

Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam… mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa ‘selamat pagi’.”

Dan aku, diborgol, untuk membayangkanmu, di sana.
Butuh bercangkir-cangkir kopi lagi untuk melihatmu dalam abstrak. Lagi!


Karya Dee Lestari Virtual 43 Tahun 2000
Share:

Askhole



Ditulis malam pertama untuk pemusnahan total para oponen, para despot yang membangun mimpi tentang dunia yang feminim akan kasih sayang tanpa alasan
Aku jawab tantangan itu gelap dengan hunusan pedang kosa kata, bagi para sponsor pembangunan altar detasemen dua angka delapan yang mendoktrin wanita agar memilih uang dibanding tenang
Dengan prosa yang bernafas dalam,  mereka membangun bangunan yang kalian rancang untuk pengendali uang demi kenikmatan dibawah panik.


Matahari terlalu pagi mengkhianati
Pena terlalu cepat terbakar
Kemungkinan terbesar sekarang, memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan dalam segelas kopi hitam, dan harapan bahwa F bisa aku miliki, sehingga aku tidak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk berkata tidak mungkin
Tanpa darah kita mengering, begitupun cinta seirama air pengisi asupan gizi bagi rasa dan logika.


Sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi
Sebelum semua jantung disesaki tragedi dan pengulangan rasa menemukan maknanya sendiri
Atau mungkin dalam limbah dan kotoran bekas cinta yang di buang
Atau mungkin karat karna tak pernah terisi satupun kesempatan dari cinta


Aku pernah belajar untuk menantang awan
Menantang langit dengan kata-kata murka karna ketidakpastian
Hingga hari-hari penghabisan
Tanpa pretense apapun untuk mengharapkan cinta yang bergerak lamban


Serupa kepastian, serupa asuransi
Serupa janji yang memprediksi dimana F saat tidur dipelukanku suatu hari nanti
Sehingga semua pernyataan terungkap bahwa aku hanya bermimpi.

August 10th 2015,  Ahmad Saval
Share:

Youniverse



Aku akan menjadi kopimu,

yang rela mengendap sebagai kepedihanmu

yang sabar menghangatkan kesedihanmu.

Biarkan harum tubuhku, menenangkan jiwamu.




Aku kopi pahit, yang kau seduh dengan cinta.



Segala yang pahit, bukanlah untuk menunda sakit.

Sebab kita hidup untuk berbagi kebahagiaan.

Lalu kau pandangi aku, yang pulas dalam cemas.



Aku kopi pahit, yang belajar menatap dunia

dengan senyumanmu.



Aku akan selalu mengingat pagi bening

suara cangkir berdenting dalam hening

gemericik air dituang, juga ciuman lembut

yang membangunkanku dari perasaan sia-sia.



Kita pernah berteka-teki:

dari apakah terbuat sebiji kopi ini?

“Dari airmata,” katamu, “yang ketika jatuh,

tak pernah merasa kehilangan apa-apa.”



Ia yang rela tak terikat pada yang fana.



Maka, ketika airmatamu jatuh, pagi itu

yang tak tertampung oleh hatimu

biarlah tertampung dalam secangkir kopi.



Kau tahu, cintaku, dalam secangkir kopi

kesedihan tak membutuhkan pelukan.

Biarkan jeritmu yang tertahan

mengendap dalam gelas kehidupan.



Tidurlah kau setenang pagi. Tidurlah, lagi.



Aku kopi pahit

Biarlah seluruh kesedihanmu yang hitam

Menjadi jubahku.
Share:

Laut & Langit



Bila aku langit dan kau laut

apakah yang menjadi batasnya?



Bila aku laut dan kau langit

bagaimana cara membedakannya?



Bila langit dan laut adalah kita

siapa akan lebih dulu terluka?



Kita langit dan laut yang dipertemukan,

bukan untuk berbagi kebahagiaan

tapi untuk saling menguatkan


Oleh laut dan langit kita dipersatukan

hanya untuk memahami kehilangan



Aku menyelam dalam lautmu

untuk menjadi langit bagi kesedihanmu



Dan kulitmu yang halus menjadi langit luas

bagi kenanganku



Di lautmu duka selalu serupa burung,

mencari langit yang lain

atau yang mungkin



“aku percaya: langit paling luas

ialah hati tanpa kebencian



Maka, jadilah engkau laut

yang membebaskanku dari harapan.”



“tanpa cinta, aku hanya laut hampa,

langit yang tak punya cakrawala!”



Bila aku sebagai laut

pelukanmu perahu

yang menyelamatkanku.


Ahmad.S 30th 2015
Share:

Mati Rasa (Rectoverso)



Aku jatuh cinta..
Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya sanggup aku gapai sebatas suaranya saja.
Seseorang yang hanya sanggup aku nikmati bayangannya, tapi tak akan pernah bisa aku miliki.
Seseorang yang hadir bagaikan bintang jatuh sekelebat kemudian menghilang begitu saja, tanpa sanggup tangan ini mengejarnya. Seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat sehalus udara, langit, awan atau hujan. Dan justru aku merasa bersedih, karena tahu apa yang tidak bisa aku miliki.
Tapi percayalah kawan, terkadang hidup memang harus seperti awan.
Awan yang bentuknya selalu berubah tapi tetap sederhana.
Awan yang harus rela luluh menjadi rintik hujan dan mencair mengikuti hukum alam.
Jatuh kesungai, mengalir kelaut, terus menguap kelangit, dan akhirnya kembali menjadi awan lagi.
Bukankah rintik hujan tak pernah bertanya, kenapa mereka harus meninggalkan tahtah langit, saat harus jatuh membasuh bukit ?



Dee Lestari, January 2009.
Share:

Anomali Pahit



Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi hitam.., memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran tentang bernafas panjang agar lega dada ini, "Bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan dapat membeli semua yang sudah aku lewati." Kesempurnaan itu memang palsu.
Ben’s Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.

Ahmad Saval 09th 2015
Share:

Metafora Desimetris



Ada yang janggal dari wajahmu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Jejak cambangmu yang kehijauan setelah habis bercukur. Itu aneh. Kulitmu bening bersemu merah seperti bayi, bibirmu merah berkilap seperti dioles gincu, dan kacamata itu hadir sedemikian rupa membuatmu seperti anak baru lulus sekolah dasar. Kamu tak seharusnya memiliki cambang. Aku yang lebih pantas. Tapi hidup terkadang buta menentukan siapa yang layak dan tidak. Kamu selalu membuatku merasa kekurangan perempuan. Ada yang mengganjalku sejak dulu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Dulu aku menduga kamu sama dengan wanita lain. bahkan kamu terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Berbicara denganmu mengundang sampah hatiku untuk muntah keluar. Sesama manusia dengan mudah menjadi pencahar rahasia dan gelisah. Tapi aku tidak pernah menjadi laki-laki . Kamu menelanjangiku tanpa penawar rasa malu.

Dan kendati aku ingin menempel padamu seperti benalu, mengisap balik rahasia dan gelisahmu, satu kali pun belum pernah aku menemukan sesuatu. Ketenanganmu, kendalimu atas intonasi dan gejolak emosi, membuatku merasa kurang adab. Kurang manusia. Dari baris-baris kalimatku tadi, aku memilih sepotong yang terakhir. Kutuliskan pada kertas yang tadi dibagikan oleh seorang apatis dan sekarang sudah harus dikumpulkan. Tercetak di sana dengan tulisan mesin tik tua: 'Apa pendapat Anda tentang Cinta?' Lalu terteralah tulisan tanganku: 'Kurang manusia'. Di pojok kanan bawah, tercetak kembali tulisan mesin itu: 'Tidak usah menuliskan identitas'. Seusai pelatihan Emotional yang merupakan sesi terakhir pelatihan sepekan ini, Cinta dan anak buahnya membaca hasil angket tadi, dan sesuai prediksiku, mereka tahu itu aku.

Aku tahu itu sejak pertama kali aku bertemu, tanpa menyebutkan nama masing-masing, tanpa juga tertawa berdua. Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, aku tenggelam dalam sebuah lautan ketenangan, dan mungkin waktu itu dia bergumam, 'apa-apan sih lu'. Aku tidak terlalu paham maksudnya, tapi kuputuskan untuk ikut arus, dan kubalas ucapannya dengan: 'Hai Apa kabar? Ke mana saja kamu selama ini?apa Tuhan Menyimpanmu dan baru Ia turunkan hari ini?' Kami berpisah detik itu, dia bahkan tidak menengokku lagi. Cinta  mulai melihat-lihat dan membolak-balik koleksi buku pikiranku, dari mulai teknik melihat aura hingga perjalanan astral. Ia memainkan kartu-kartu Tarotku yang beraneka ragam, dari mulai Tarot malaikat sampai vampir. Ia memperhatikan dengan saksama bagaimana caraku melipat selimut dan membentangkan seprai di atas rumput untuknya tidur. Tapi, setiap pertemuan ia selalu bergumam dalam pikiranku, 'Ihh amit-amit deh sama dia'.

Dalam hati aku hanya terengah dan tersengal, aku bangkit berdiri. Cinta perlahan juga bangkit, merapikan kemeja merah jambunya yang kusut bukan kepalang, dan ia mulai kembali bersila dengan posisi lotus. Pipinya basah. Beberapa butir airmata masih tersembul dari pelupuknya. Mataku yang merah sisa meringis, rambutku yang acak-acakan, bajuku kusut masai, tapi ada ketenangan yang tak tertandingi siapa pun pada hari itu. Tak juga Cinta. Semua ini hanya topeng yang dipakai dan ditanggalkan kapan saja kita mau. Kumusnahkan kedok kami barusan. Kuhancurkan hingga berkeping-keping. Cinta dan Cinta dan Cinta. Dan kini aku kembali menjadi aku, siapapun itu, aku tak tahu. Aku hidup. Aku utuh. Itu saja.

Ahmad 30th 2015
Share:

Hilang



Hatinya curam, tergerus satu demi satu. Melewat batas, mengambang tanpa batas. Suara burung menjadi hina, tercipta untuk percuma.

Ketika akhir cerita terasa akan tiba, bahtera itu pun datang. Membawa kegembiraan. Membawa harapan, rasa cinta, rasa tenang-damai.

Rumah-rumah pun dibangun'nya'. Tetap pada batas, tanpa kemewahan. 'Ia' menawarkan keamanan

Tempat bermunajat didirikan'nya'. Tak megah, namun tak percuma pula. 'Ia' menawarkan ketenangan

'Ia' pun merasa cukup, lalu berjalan menuju kapalnya untuk kembali ke masa lalu'nya'. Namun pandangan'nya' berhenti, tertuju pada tempat kosong yang terabaikan

'Ia' berjalan menuju tebing curam tersebut, lalu merasa sesuatu yang lain pada tebing tersebut. 'Ia' menancapkan janji padanya

Janji dalam membangun tempat perlindungan untuk diri'nya'

'Ia' pun membangun tanpa kenal lelah, tanpa kenal henti

Hingga pada saatnya, 'ia' mendapatkan balasan atas semua yang 'ia' tawarkan

Tebing yang curam pun berubah. Lebih anggun, sederhana namun tak berbahaya

Hati yang muram itu pun berubah. Lebih dewasa, lebih merasa.

Berpadu senyum dengan sang pendatang

Namun sebutan sebagai pendatang pun perlahan tergerus oleh waktu

Tergerus, menjadi penetap. Penetap selamanya dalam hatinya yang 'Hilang'

Ahmad Saval June 16th
Share:

Eksistensi F



Sepersekian menit sebelum menit ini, hati ini tidak tenang. Ada sebagian perasaan dimana saya harus merelakan sesuatu yang dianggap cinta itu, agar dapat menjadi wujud keesensiannya sebagai cinta. Namun, sebagian perasaan lainnya mengatakan bahwa saya yang pengecut ini, harus mencari cara lain mendekatinya, yaitu dream-transfer. Saya pun mengikuti perasaan yang kedua.

Saya coba melakukan itu. Lampu dimatikan, musik ditenangkan, alat elektronik diabaikan. Mencari ketenangan yang klimaks. Satu detik, dua detik, hingga beberapa detik kubuang demi mendapatkan ketenangan yang mendukung. Entah pada detik keberapa, ketenangan pun tiba dan langsung saja kucoba. Sekujur badan hitam, memandikannya dengan cahaya, atau lebih tepatnya bola cahaya. Kukirim mimpi ini dengan segala niat, dengan kuabaikan buruk-baiknya niat itu. Selesai, dan kubuka perlahan mata nyata ini. DAR, tiba-tiba petir menyambar, tak ada angin, apalagi hujan. Petir itu hanya datang sekali, tak berkelanjutan lagi. Tetapi hadirnya seakan memberikan teguran keras pada saya, sekeras hentumannya. Mengenai sampai atau tidaknya pesan yang saya bawa, kepedulian saya terhadap itu pun langsung hilang seketika.

Langsung kusadari, bahwa yang saya ikuti-yang pada saat itu saya anggap sebagai 'perasaan', nyatanya hanya sebuah birahi, yang menguasai hampir seluruh tubuh manusia saat mabuk, entah itu mabuk minuman, mabuk judi, ataupun mabuk cinta.
Share:

Cemas



2014. Saya lupa tanggalnya. Saat itu saya mencari sesuatu yang mungkin biasanya engga terlalu penting, tapi bener-bener penting buat hari ini dan seminggu kedepan. Ya, pengeruk. Mulai dari kamar tidur, ruang keluarga, ruang tamu, sampai kamar mandi (ini beneran) saya cari tuh pengeruk, ga ketemu-temu. Sampai akhirnya saya menyerah, dan berpikir "besok ajahlah, kan pasti ada temen yang bawa pengeruk".  Emang bener ada temen yang bawa pengeruk pensil, tapi tetep aja penasaran kenapa pengeruk pensil itu ga ketemu-temu, padahal seringkali saya ngeliat tuh pengeruk
Seminggu selanjutnya saya lagi beresin buku buat kerja besok. Lalu saya ngeliat sesuatu, sesuatu yang ngingetin saya tentang 'sesuatu'. Sesuatu disini adalah pengeruk, dan 'sesuatu' disini adalah kekampretan minggu kemarin yang saya coba buat nyari pengeruk itu.

Setelah itu, saya menyadari salahsatu paradoks hidup pertama yang paling nyata dan yang paling sering saya alami, yaitu semakin kita mencari sesuatu, maka semakin menjauhlah kita dari hal tersebut. Namun ketika kita berhenti mencari sesuatu tersebut, secara tak sadar sesuatu tersebut mendekat kepada kita, entah kenapa.
Share:

Pencarian ?

Ketika orang-orang mengatakan "pencarian" adalah awal dari segalanya, 'aku' berpikir bahwa justru "pencarian" itu adalah akhir dari segala permulaan. "Pencarian" menawarkan proses yang paradoksial, dengan tujuan yang buram, tak jelas. 

Manusia yang dihakekatkan untuk hidup selamanya, pasti tergiur akan iming-iming dari hasil "pencarian". Senang, bahagia, sukses, terangkum semua didalamnya sebagai 'calon' hasil dari "pencarian" tersebut. Tapi pernahkah terbesit dalam pikiran mereka, bahwa dengan mereka terfokus pada "pencarian" tersebut, mereka akan melupakan apa yang ada pada diri mereka, mereka akan melupakan rasa syukur yang seharusnya mereka panjatkan kepada sang-Hyang?

Yah tidak ada salahnya untuk mencari, tapi jangan pernah salahkan alam jika kau tak dapatkan apa-apa darinya.

Saval

Share:

Penyerupa Ular Eps. II



 Untuk dia yang menyerupai ular....

Aku ingin mengnalnya sekali lagi

Seberharga apakah dia bagiku?bahkan terkadang aku sendiri tidak tahu.
Terkadang dia lebih berharga dari alam semesta, tapi kadang tidak lebih berharga dari kertas-kertas lusuh puisi romantis picisan.

Aku beri tahu kamu satu rahasia saudaraku...kita sebagai manusia tidak akan sadar kalau kita memiliki hati jika kita belum pernah merasakan sakit hati. Itu salah satu yang aku dapat dari perkenalanku dengan si-penyerupa ular yang satu ini.

Bagiku dia adalah bagian paling berharga dari mata rantai takdir yang telah menyusun kehidupanku selama ini. Tapi ia juga sebentuk penggambaran malaiakat yang dikutuk oleh Tuhan karena menggodaku untuk memakan buah pengetahuan. Dia mengajariku banyak hal. Yang paling berharga justru rasa sakit itu sendiri.

Dia yang menyerupai ular mengajari ku bukan tentang romantisme, bukan tentang kesetiaan tanpa akhir, dan bukan tentang cinta yang tidak dimiliki orang lain...lalu apa yang membuat dia lebih berharga dari semesta bagiku?

Dia mengajariku sesuatu yang lebih berharga dari itu semua...

Si-penyerupa ular yang satu ini mengajariku tentang rasa sakit yang begitu dalam, hingga ketika aku jatuh kedalamnya aku tidak akan pernah sampai kedasarnya walau sampai akhir masa. rasa sakit yang begitu hitam pekat hingga aku lupa arah, hingga aku tidak dapat membedakan antara membuka dan menutup mata. Rasa sakit dan menyayat yang begitu merusak hingga rasanya aku ingin mencabut keluar jantungku sendiri.

Tapi...

Setiap rasa sakit itulah yang memperkuat diriku. Membuatku memandang setiap kehidupan jauh lebih baik. Menemukan sudut yang tepat untuk melihat bahwa setiap kehidupan adalah special, bahkan yang terkecil sekalipun. Menyadari bahwa setiap manusia adalah pusat alam semesta dan saling mempengaruhi satu sama lain. Takdirku, takdirmu, takdir mereka, takdir kita semua saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Aku tidak akan sedang duduk disini dan menulis note ini jika dulu tidak mengenalnya, bahkan aku tidak akan berfikir untuk itu. Tuhan menciptakan si-penyerupa ular itu didalam kepalaku.

...dan jika aku boleh memilih aku ingin selalu mengenalnya sebagai si-penyerupa ular...

Aku benci mengatakannya...

Tapi...

Aku sungguh mencintainya
Aku merindukannya

Aku malu mengatakannya...

Tapi...

Aku ingin selamanya bersastra untuknya...
Aku ingin selamanya bermain nada untuknya...
Aku ingin selamanya terdiam untuknya...
Dan aku akan menunggu selamanya...meskipun bagi mu itu tidak realistis saudaraku...tapi sekali lagi jika aku bisa memilih, aku ingin menjadi seorang idealis selamanya...Untuk si-penyerupa ular itu saudaraku, hanya untuk dia...


Untuk dia yang menyerupai ular....

Aku ingin mengnalnya sekali lagi
Share:

Penyerupa Ular



Mengenai si-penyerupa ular itu, boleh lah aku bercerita lebih lebar. Perkara seberapa penting ia bagi ku, adalah tidak penting lagi. Anggap saja ia adalah titik tolak dari segala takdir.

Ayu aulia namanya. Indah bukan? Awalnya ia adalah kenalan dari sebuah tempat kerja. Dulu sekali aku dan beberapa teman dekat senang sekali melihatnya berkerudung disepeda. Dengan berbekal pulsa dan kemampuan berkomunikasi, aku mencoba peruntungan untuk memikat. Ayu adalah salah satu yang berhasil aku akali. Tidak tepat sebenarnya jika aku katakan “Dia berhasil aku akali” karena pada kenyataannya ia lah yang benar-benar mengakali aku. Aku tidak akan menceritakan lebar-lebar bagaimana hubungan aku dan dia berjalan. Aku rasa hal itu terlalu picisan. Aku hanya akan menceritakan bagaimana hubungan kami berakhir.

Beginilah awal dari akhir itu...

Pada suatu malam. Aku menunggu dia. Menunggu kekalahan dan rasa sakit. Aku tau itu, tanpa perlu diberi tahu. Di depan rumah. Aku menunggu. Aku tidak sendiri. Malam itu aku ditemani oleh seorang teman. Teman yang aku anggap bisa dipercaya.

Cukup lama juga sebelum akhirnya dia datang malam itu. Wanita berbalut jilbab. Cukup cantik, cukup manis dan tidak akan membuat malu jika dijadikan pasangan saat diundang ulang tahun, khitanan, kenduri, atau selamatan yang diadakan seorang tetangga karena baru saja sembuh dari penyakit wasir menahun. Tanpa basa-basi dia yang berinisial A itu, melancarkan serangan yang paling mematikan. Sedu-sedan yang ditambah sedikit sesegukan. Seperti anak kecil yang dimarahi ibunya karena iseng meniup kondom bekas pakai, ia terus menangis. Sebagai seorang lelaki sejati aku segera meredakan hujan di wajahnya. Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah disini, atau ada yang berbuat kesalahan. Aku menatap teman ku. Tatapan penuh tanya. Tapi ia malah menyibukan diri dengan handphone-nya, padahal tidak ada panggilan masuk atau pun sms. Ia hanya balas menanatapku dengan tatapan: “gue gak tau” atau mungkin “ gue pura-pura gak tau aja ya bro”.

Kalau ini sebuah film, pasti saat itu piano akustik sedang dimainkan dalam nada-nada minor. Karena saat itu sang tokoh utama seorang lelaki sejati, tampan, gagah, penyayang, pelindung hak-hak wanita dan orang tua, pecinta binatang dan anak-anak, yang tak lain dan tak bukan adalah aku. Akan segera menelan pil pahit kekalahan. Sangat pahit, sampai menangis lidah hati ku.

Di tengah sedu-sedan itu dia menyampaikan apa yang memang seharusnya ia sampaikan. Konspirasi, penghianatan, persekongkolan, atau apapun namanya. Yang jelas, ada sesuatu yang benar-benar salah. Antara mereka... Ya antara “Belahan jiwaku” dan teman ku, ada sesuatu. Oh God... it’s so drama. Terlalu picisan bahkan untuk dikatakan sebagai sebuah drama. Cinta segi tiga, antara aku, dia, dan teman ku. Luar biasa picisan bukan? But why God?... why you do this to me? Kenapa tidak Engkau bikin saja salah satu dari kami mati ditabrak angkot, lalu yang lain bunuh diri minum parem kocok, tersisalah satu tokoh yang kemudian memutuskan untuk jadi biksu. Tapi sayang drama-ku tidak sedramatis itu.

Tapi kawan, aku berani bertaruh. Bagaimanapun picisannya sebuah kisah cinta, ketika kamu benar-benar mengalaminya, sakitnya akan tetap mampu melumpuhkan jantung mu. Begitu juga aku. Aku tidak tau apa yang benar-benar aku rasakan. Perpaduan antara marah, sedih, dan kecewa. Atau aku hanya bingung. Bingung lantaran hatiku pecah berkeping-keping sehingga tak mungkin untuk disatukan lagi. Bahkan oleh genius puzzle manapun. Aku hanya bingung harus berbuat apa. Aku hanya... tersenyum (demi Tuhan aku tersenyum). Senyum yang sama seperti ketika aku pertama kali bertemu dengan dia, dan senyum yang sama ketika aku merasakan manisnya berbagi sesuatu yang berharga dengan seorang teman. Senyum kerelaan tanda perdamaian. Untuk mereka, penghianatan mereka, cinta mereka dan setiap rasa sakit yang aku harus rasakan. Aku kalah, aku terkalahkan tetapi semoga dengan terhormat.

Aku tersenyum ikhlas. Dia, yang saat ini sudah tidak bisa disebut belahan jiwa lagi, hampir surut air matanya. Make up-nya sedikit luntur tapi tetap saja tidak membuat malu jika dijadikan pasangan saat diundang pada acara khitanan, dan sang teman hanya diam. Diam yang membuat ku ingat betapa kami begitu akrab. Kami saling menopangkan lengan di bahu. Saling memapah Bersusah-susah, bersinar-sinar seperti mercusuar, dan berbagi apa saja tanpa saling membuat catatan hutang.

Bagi ku, mereka hanya sedang tidak pandai mangendalikan hati. Sebenarnya, Aku tidak menyalahkan mereka. Lagi pula manusia genius mana yang bisa mengendalikan hati. Hati selalu punya caranya sendiri untuk memilih. Aku sadar itu. Aku sakit, itu saja. Rasa sakit yang tidak akan hilang sampai besok, besoknya lagi, dan besoknya, ketika aku sudah tak punya hari esok lagi.

Aku segera menyadari satu hal. Bahwa masaku disini telah usai. Selamat lamat tinggal. Semoga takdir kita tidak lagi bersimpangan.
Share: