Mengenai si-penyerupa ular itu, boleh lah aku bercerita lebih lebar.
Perkara seberapa penting ia bagi ku, adalah tidak penting lagi. Anggap
saja ia adalah titik tolak dari segala takdir.
Ayu aulia namanya. Indah bukan? Awalnya ia adalah kenalan dari sebuah tempat kerja.
Dulu sekali aku dan beberapa teman dekat senang sekali melihatnya berkerudung disepeda. Dengan berbekal pulsa dan
kemampuan berkomunikasi, aku mencoba peruntungan untuk memikat. Ayu adalah salah satu yang berhasil
aku akali. Tidak tepat sebenarnya jika aku katakan “Dia berhasil aku
akali” karena pada kenyataannya ia lah yang benar-benar mengakali aku.
Aku tidak akan menceritakan lebar-lebar bagaimana hubungan aku dan dia
berjalan. Aku rasa hal itu terlalu picisan. Aku hanya akan menceritakan
bagaimana hubungan kami berakhir.
Beginilah awal dari akhir itu...
Pada suatu malam. Aku menunggu dia. Menunggu kekalahan dan rasa sakit.
Aku tau itu, tanpa perlu diberi tahu. Di depan rumah.
Aku menunggu. Aku tidak sendiri. Malam itu aku ditemani oleh seorang
teman. Teman yang aku anggap bisa dipercaya.
Cukup lama juga sebelum akhirnya dia datang malam itu. Wanita berbalut
jilbab. Cukup cantik, cukup manis dan tidak akan membuat malu jika
dijadikan pasangan saat diundang ulang tahun, khitanan, kenduri, atau
selamatan yang diadakan seorang tetangga karena baru saja sembuh dari
penyakit wasir menahun. Tanpa basa-basi dia yang berinisial A itu,
melancarkan serangan yang paling mematikan. Sedu-sedan yang ditambah
sedikit sesegukan. Seperti anak kecil yang dimarahi ibunya karena iseng
meniup kondom bekas pakai, ia terus menangis. Sebagai seorang lelaki
sejati aku segera meredakan hujan di wajahnya. Firasatku mengatakan
bahwa ada sesuatu yang salah disini, atau ada yang berbuat kesalahan.
Aku menatap teman ku. Tatapan penuh tanya. Tapi ia malah menyibukan diri
dengan handphone-nya, padahal tidak ada panggilan masuk atau pun sms.
Ia hanya balas menanatapku dengan tatapan: “gue gak tau” atau mungkin “
gue pura-pura gak tau aja ya bro”.
Kalau ini sebuah film, pasti saat itu piano akustik sedang dimainkan
dalam nada-nada minor. Karena saat itu sang tokoh utama seorang lelaki
sejati, tampan, gagah, penyayang, pelindung hak-hak wanita dan orang
tua, pecinta binatang dan anak-anak, yang tak lain dan tak bukan adalah
aku. Akan segera menelan pil pahit kekalahan. Sangat pahit, sampai menangis lidah hati ku.
Di tengah sedu-sedan itu dia menyampaikan apa yang memang seharusnya ia
sampaikan. Konspirasi, penghianatan, persekongkolan, atau apapun
namanya. Yang jelas, ada sesuatu yang benar-benar salah. Antara
mereka... Ya antara “Belahan jiwaku” dan teman ku, ada sesuatu. Oh
God... it’s so drama. Terlalu picisan bahkan untuk dikatakan sebagai
sebuah drama. Cinta segi tiga, antara aku, dia, dan teman ku. Luar biasa
picisan bukan? But why God?... why you do this to me? Kenapa tidak
Engkau bikin saja salah satu dari kami mati ditabrak angkot, lalu yang
lain bunuh diri minum parem kocok, tersisalah satu tokoh yang kemudian
memutuskan untuk jadi biksu. Tapi sayang drama-ku tidak sedramatis itu.
Tapi kawan, aku berani bertaruh. Bagaimanapun picisannya sebuah kisah
cinta, ketika kamu benar-benar mengalaminya, sakitnya akan tetap mampu
melumpuhkan jantung mu. Begitu juga aku. Aku tidak tau apa yang
benar-benar aku rasakan. Perpaduan antara marah, sedih, dan kecewa. Atau
aku hanya bingung. Bingung lantaran hatiku pecah berkeping-keping
sehingga tak mungkin untuk disatukan lagi. Bahkan oleh genius puzzle
manapun. Aku hanya bingung harus berbuat apa. Aku hanya... tersenyum
(demi Tuhan aku tersenyum). Senyum yang sama seperti ketika aku pertama
kali bertemu dengan dia, dan senyum yang sama ketika aku merasakan
manisnya berbagi sesuatu yang berharga dengan seorang teman. Senyum
kerelaan tanda perdamaian. Untuk mereka, penghianatan mereka, cinta
mereka dan setiap rasa sakit yang aku harus rasakan. Aku kalah, aku
terkalahkan tetapi semoga dengan terhormat.
Aku tersenyum ikhlas. Dia, yang saat ini sudah tidak bisa disebut
belahan jiwa lagi, hampir surut air matanya. Make up-nya sedikit luntur
tapi tetap saja tidak membuat malu jika dijadikan pasangan saat diundang
pada acara khitanan, dan sang teman hanya diam. Diam yang membuat ku
ingat betapa kami begitu akrab. Kami saling
menopangkan lengan di bahu. Saling memapah Bersusah-susah,
bersinar-sinar seperti mercusuar, dan berbagi apa saja tanpa saling
membuat catatan hutang.
Bagi ku, mereka hanya sedang tidak pandai mangendalikan hati.
Sebenarnya, Aku tidak menyalahkan mereka. Lagi pula manusia genius mana
yang bisa mengendalikan hati. Hati selalu punya caranya sendiri untuk
memilih. Aku sadar itu. Aku sakit, itu saja. Rasa sakit yang tidak akan
hilang sampai besok, besoknya lagi, dan besoknya, ketika aku sudah tak
punya hari esok lagi.
Aku segera menyadari satu hal. Bahwa masaku disini telah usai. Selamat
lamat tinggal. Semoga takdir kita tidak lagi
bersimpangan.