Ada yang janggal dari wajahmu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Jejak cambangmu yang kehijauan setelah habis bercukur. Itu aneh. Kulitmu bening bersemu merah seperti bayi, bibirmu merah berkilap seperti dioles gincu, dan kacamata itu hadir sedemikian rupa membuatmu seperti anak baru lulus sekolah dasar. Kamu tak seharusnya memiliki cambang. Aku yang lebih pantas. Tapi hidup terkadang buta menentukan siapa yang layak dan tidak. Kamu selalu membuatku merasa kekurangan perempuan. Ada yang mengganjalku sejak dulu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Dulu aku menduga kamu sama dengan wanita lain. bahkan kamu terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Berbicara denganmu mengundang sampah hatiku untuk muntah keluar. Sesama manusia dengan mudah menjadi pencahar rahasia dan gelisah. Tapi aku tidak pernah menjadi laki-laki . Kamu menelanjangiku tanpa penawar rasa malu.
Dan kendati aku ingin menempel padamu seperti benalu, mengisap balik rahasia dan gelisahmu, satu kali pun belum pernah aku menemukan sesuatu. Ketenanganmu, kendalimu atas intonasi dan gejolak emosi, membuatku merasa kurang adab. Kurang manusia. Dari baris-baris kalimatku tadi, aku memilih sepotong yang terakhir. Kutuliskan pada kertas yang tadi dibagikan oleh seorang apatis dan sekarang sudah harus dikumpulkan. Tercetak di sana dengan tulisan mesin tik tua: 'Apa pendapat Anda tentang Cinta?' Lalu terteralah tulisan tanganku: 'Kurang manusia'. Di pojok kanan bawah, tercetak kembali tulisan mesin itu: 'Tidak usah menuliskan identitas'. Seusai pelatihan Emotional yang merupakan sesi terakhir pelatihan sepekan ini, Cinta dan anak buahnya membaca hasil angket tadi, dan sesuai prediksiku, mereka tahu itu aku.
Aku tahu itu sejak pertama kali aku bertemu, tanpa menyebutkan nama masing-masing, tanpa juga tertawa berdua. Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, aku tenggelam dalam sebuah lautan ketenangan, dan mungkin waktu itu dia bergumam, 'apa-apan sih lu'. Aku tidak terlalu paham maksudnya, tapi kuputuskan untuk ikut arus, dan kubalas ucapannya dengan: 'Hai Apa kabar? Ke mana saja kamu selama ini?apa Tuhan Menyimpanmu dan baru Ia turunkan hari ini?' Kami berpisah detik itu, dia bahkan tidak menengokku lagi. Cinta mulai melihat-lihat dan membolak-balik koleksi buku pikiranku, dari mulai teknik melihat aura hingga perjalanan astral. Ia memainkan kartu-kartu Tarotku yang beraneka ragam, dari mulai Tarot malaikat sampai vampir. Ia memperhatikan dengan saksama bagaimana caraku melipat selimut dan membentangkan seprai di atas rumput untuknya tidur. Tapi, setiap pertemuan ia selalu bergumam dalam pikiranku, 'Ihh amit-amit deh sama dia'.
Dalam hati aku hanya terengah dan tersengal, aku bangkit berdiri. Cinta perlahan juga bangkit, merapikan kemeja merah jambunya yang kusut bukan kepalang, dan ia mulai kembali bersila dengan posisi lotus. Pipinya basah. Beberapa butir airmata masih tersembul dari pelupuknya. Mataku yang merah sisa meringis, rambutku yang acak-acakan, bajuku kusut masai, tapi ada ketenangan yang tak tertandingi siapa pun pada hari itu. Tak juga Cinta. Semua ini hanya topeng yang dipakai dan ditanggalkan kapan saja kita mau. Kumusnahkan kedok kami barusan. Kuhancurkan hingga berkeping-keping. Cinta dan Cinta dan Cinta. Dan kini aku kembali menjadi aku, siapapun itu, aku tak tahu. Aku hidup. Aku utuh. Itu saja.
Ahmad 30th 2015

