Tuhan Tergugat Alam

Suatu ketika, seorang kakek mengajari cucunya bagaimana cara berburu. Dari pria tua itu sang anak lelaki suku Sioux mendapat pelajaran, bahwa berburu bukanlah tentang pria gagah dengan senjata atau busur, tapi tentang kematian yang memberikan kehidupan. Berikut yang dikatakan sang kakek, tentang cara orang-orang Sioux berburu:

Untuk menembak saudara berkaki empat di daerah belakang tubuhnya, untuk memperlambatnya, tetapi tidak untuk membunuhnya. Kemudian, raih kepala sang kaki empat dalam tangan mu, dan lihatlah ke dalam matanya. Mata adalah tempat segala kesakitan itu berada. Lihat ke dalam mata saudaramu itu dan rasakanlah kesakitannya. Kemudian ambil pisaumu dan sembelihlah sang kaki empat di bawah pipinya, di sini, di lehernya, sehingga ia akan mati dengan cepat. Dan ketika kamu melakukan itu minta maaflah pada saudara mu, sang kaki empat atas apa yang kamu lakukan. Berikanlah juga doa terima kasih untuk saudara kaki empatmu atas tubuh yang ditawarkannya kini pada mu, ketika kamu membutuhkan makanan untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai. Dan berjanjilah kepada sang kaki empat bahwa kamu akan mengembalikan diri mu sendiri ke tanah ketika kamu mati, untuk menjadi makanan bagi tanah, dan untuk saudara bunga, dan untuk saudara rusa. Adalah sudah seharusnya bagimu untuk menawarkan doa ini untuk sang kaki empat dan pada waktunya, balaslah dengan tubuhmu melalui cara ini, sebagaimana sang kaki empat memberikan hidupnya untuk kelangsungan hidupmu. (Warren dalam Tong, 2004: 389).

Pelajaran yang dapat kita ambil dari model suku Sioux tersebut adalah bagaimana mereka begitu menghormati yang lain diluar manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kata ganti “saudara” untuk hewan buruan. Pada banyak kebudayaan kuno, penghormatan terhadap alam macam ini banyak sekali ditemui. Di masa sebelum munculnya agama-agama monotheis semit, paganisme memberikan cara pandang yang berbeda tentang hubungan manusia dengan alam. Dewa-dewa mereka adalah personifikasi dari kekuatan alam, dewa langit, dewa laut, dewa gunung, dewa sungai, dewa hutan dan lain sebagainya. Dewa-dewa pagan memang terkesan bersifat pragmatis karena penyembahan terhadap mereka didasari oleh kebutuhan manusia. Sebagai contoh, masyarakat yang hidup di pesisir akan lebih menyembah dewa laut ketimbang dewa gunung begitu pun sebaliknya, dan masyarakat yang kesehariannya berburu akan lebih menghormati dewa hutan ketimbang dewa langit, walau pun secara hirarki dewa langit adalah yang paling tinggi. Akan tetapi sifat pragmatis paganisme tersebut menyatakan dengan jelas bahwa manusia membutuhkan alam, bukan sebaliknya.
Pada awalnya, hubungan antara manusia dengan alam tidak dilihat seperti pada masa ini. Seperti dalam pengajarannya, Kakek Sioux menunjukkan bahwa dia dan orang-orang Sioux tidak melihat hubungan alam dengan manusia secara oposisional. Baginya, alam dan manusia memiliki hubungan yang saling melengkapi. Dalam konsep-konsep kuno hubungan alam dan manusia adalah sangat dekat dan hampir tidak terpisahkan. Manusia berasal, bertumbuh, dan dibesarkan oleh alam. Oleh karena itu penghormatan terhadap alam menjadi sangat besar. Tidak dapat kita sangkal bahwa monotheisme semit adalah yang mempolulerkan kepada kita cara pandang bahwa manusia tidak berasal dari bumi ini. Dalam ajaran monotheisme semit yang telah mapan macam islam-kristen-yahudi, dikatakan bahwa manusia berasal dari tempat di luar bumi, yang kemudian karena sebuah dosa maka diturunkan ke bumi. Ide itulah yang kemudian membuat hubungan manusia dengan alam menjadi oposisional. Dan lebih lagi memberikan kita pandangan bahwa alasan diciptakannya alam semesta adalah manusia.
Ide bahwa alam ini diciptakan untuk kelangsungan hidup manusia membuat ekosentrisme tidak populer lagi dan digantikan oleh dominasi manusia atas alam secara keseluruhan. Nilai-nilai dualisme yang dibawa oleh agama-agama semit memberikan hak istimewa kepada manusia untuk memperlakukan alam sekehendaknya. Lebih parah lagi hujatan-hujatan yang dilakukan terhadap ritual-ritual kuno, yang membuat kearifan-kearifan yang terkandung dalam ritual-ritual tersebut tertutup stempel tahayul.
Berkembangnya monotheisme semit memberikan sumbangan besar bagi peradaban manusia, akan tetapi juga membuat kemunduran besar bagi hubungan manusia dengan alam. Manusia tidak lagi memberikan sesaji pada laut, gunung, atau hutan. Manusia menjadi makhluk yang egosentris. Monotheisme semit menaikan kedudukan manusia di alam semesta. Manusia kini berada di puncak hirarki alam semesta, sehingga beranggapan bahwa segala sesuatu di luar dirinya berada di bawahnya dan diperuntukan bagi dirinya. Manusia tidak mau disetarakan dengan makhluk-makhluk hidup lain. Dapat dikatakan bahwa penolakan kaum agamawan terhadap teori evolusi adalah bentuk dari kesombongan manusia. Sangat mungkin bahwa teori evolusi dapat dipatahkan, akan tetapi apakah kaum agamawan yang mati-matian menolak bahwa manusia memiliki kekerabatan dengan kera dapat memberikan hipotesa yang lebih logis ketimbang mengutip epik Adam-Hawa?

Kearifan dalam mitos dan tahayul Indonesia
            “Numpang-numpang, anak Bagong mau kencing” Ucapan macam itu biasanya dilakukan ketika seseorang hendak buang air kecil di tempat yang bukan kakus, misalnya hutan, kebun, atau di bawah pohon. Pada masa sekarang ini, ucapan macam itu sudah jarang sekali kita dengar, selain karena kakus dan wc sudah banyak tersedia, juga karena sebagian orang menganggap hal tersebut sebagai sebuah tahayul dan bentuk kemusyrikan. Padahal jika dikaji lebih dalam, tata cara buang air kecil tersebut menyimpan kearifan dan ide-ide ekosentrisme. Tidakkah kita menyadari bahwa, dari pengajaran sepele, tentang tata cara buang air kecil terdapat sebuah bentuk penghormatan manusia terhadap alam. Tidakkah ketika kita hendak menumpang buang air kecil di rumah orang lain, kita harus memohon izin terlebih dahulu, lalu kenapa kepada alam, kita tidak dapat melakukan hal yang sama? Mungkin benar, jika dikatakan bahwa ide awal dari ritual-ritual macam itu adalah kepercayaan manusia pada yang gaib, tapi tidakkah kita berpikir sedikit lebih luas dan mengartikan kata “gaib” disini tidak hanya sebagai mahluk halus atau semacamnya, tetapi lebih mengacu pada kehidupan lain di sekitar manusia, seperti tumbuhan, hewan, air dan udara. Tidakkah kita sadari bahwa ketika sedang melakukan ritual buang air kecil yang sepele macam itu, sebenarnya kita sedang mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita sedang menumpang hidup di alam, dan bukan sebaliknya.
            Selain tata cara buang air kecil tadi, pada ajaran-ajaran di jawa dan sekitarnya akan kita temukan ritual-ritual yang mengangkat sesajen sebagai konsep utama. Seperti larung saji dan ritual-ritual semacamnya. Ritual-ritual macam ini juga didasari oleh keparcayaan terhadap yang gaib, akan tetapi pada dasarnya ritual-ritual macam ini juga menempatkan alam sebagai yang perlu dihormati. Pada banyak kebudayaan kuno di dunia termasuk Indonesia terdapat ritual-ritual khusus ketika hendak menebang pohon atau memetik dan memanen. Bayangkan, jika untuk menebang satu pohon saja kita perlu melakukan ritual sesaji terlebih dahulu, maka penebangan dan pembabatan hutan secara brutal tidak akan terjadi.
            Ada juga mitos mengenai Nyai Roro Kidul. Mitos ini berkembang di sepanjang pesisir selatan pulau jawa. Habis-habisan mitos dan kepercayaan masyarakat jawa terhadap Nyi Roro Kidul dihujat oleh agamawan. Dianggap musyrik dan sesat. Akan tetapi tidakkah kita melihat bahwa mitos tersebut memposisikan laut sebagai yang hidup dan dengan begitu, manusia perlu melakukan penghormatan terhadap laut, sebagai balasan karena laut telah memberikan penghidupan pada manusia. Pesan yang disampaikan adalah jelas, bahwa manusia seharusnya lebih hormat terhadap alam, seperti juga kita menghormati manusia lain.

***
            Adalah benar jika dikatakan bahwa manusia lebih istimewa dari makhluk-makhluk lain, lantaran memiliki kemampuan lebih dalam berpikir. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas membuat kita memiliki hak istimewa untuk berlaku lalim terhadap alam. Perlulah setidaknya sedikit saja kita membuka pikiran terhadap hal-hal yang selama ini kita anggap tahayul atau sesat, karena di dalam hal-hal tersebut tersimpan kearifan yang luar biasa, yang bahkan tidak terpikirkan oleh kita yang telah mapan dalam peradaban. Bukan berarti bahwa kita harus kembali kepada kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual kuno, tetapi melihat ritual-ritual tersebut dengan lebih bijaksana, sehingga kearifan yang terkandung di dalamnya dapat kita serap. Tidak adil jika kita memberikan stempel tahayul dan sesat pada sesuatu yang belum kita kaji secara dalam.
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa apa yang ditawarkan oleh agama-agama baru adalah juga tahayul-tahayul model baru. Hal ini akan menjadi benar ketika di generasi mendatang telah ditemukan konsep kepercayaan baru. Dan bahwa Tuhan agama baru adalah Tuhan yang berasal dari representasi kesempurnaan akal pikiran manusia, yang kemudian menggantikan posisi Tuhan-Tuhan personifikasi alam. Siklus macam ini akan terus berulang ketika manusia telah menemukan konsep baru tentang ketuhanan.
Satu hal yang perlu kita petakan ulang adalah bagaimana cara pandang kita terhadap hubungan antara manusia dengan alam. Kita juga harus menegaskan kepada diri kita sendiri bahwa kita bukanlah yang teristimewa dalam hirarki alam semeta. Kita harus bisa menerima bahwa sebenarnya manusia sedang menumpang hidup pada alam, bukan sebaliknya dan adalah fakta tidak terbantahkan bahwa kita adalah parasit paling bebahaya bagi bumi ini.

Share: