Sebentuk Kesadaran Tentang Bosan

       
          Aku mati hari ini. Ya sobat, aku mati hari ini. Benar-benar mati. Mati yang sesungguhnya. Tepatnya dini hari tadi, kira-kira pukul dua lebih sedikit. Dalam perjalanan pulang, aku mengalami kecelakaan. Sebenarnya ketika itu aku tidak sendiri. Aku bersama seorang teman. Ia yang mengendarai motor dan aku yang membonceng. Sialnya ia tidak ikutan mati. Ia selamat walau sekarang masih kritis. Tidak perlulah aku ceritakan bagaimana kejadiannya secara detail atau bagaimana keadaan jasadku. Hal itu hanya akan membuat kamu ingin muntah. Tapi perlu aku ingatkan pada mu sobat, pakailah helm berlogo SNI!, kalau kamu masih ingin mengenali wajah mu sendiri.
            Jangan kamu tanya bagaimana rasanya sobat. Rasanya luar biasa sakit. Sampai batas-batas yang sudah tidak bisa diterima otak. Tapi lebih sakit lagi adalah menyadari bahwa masih banyak hal yang belum aku benahi dalam hidup ku. Setiap ingatan, sekecil apapun itu, selama kurang lebih dua puluh tahun masa hidupku diputar kembali. Ingatan itu dimampatkan hingga sepersekian detik saja. Lalu hilang. Lenyap begitu saja. Segalanya.
            Setelahnya hanya ada aku. Aku sebagai sesuatu yang tidak aku ketahui. Tanpa tubuh, tanpa akal, tanpa ingatan, tanpa pikiran, tanpa bentuk, tanpa identitas. Aku tidak juga merasakan apa-apa, aku tidak melihat apa-apa, aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak mencium apa-apa, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya sadar, bahwa aku ada. Aku hanya sebentuk kesadaran. Tidaklah perlu kamu pikirkan bagaimana cara ku (yang hanya sebentuk kesadaran) mengisahkan ini semua pada mu.
            Aku tidak lagi ingat tentang gambaran-gambaran surga dan neraka yang sering kali aku dengar. Padahal hikayat-hikayat itulah yang menjadi dongeng tidurku ketika kecil. Bagaimana para pendosa disiksa habis-habisan sampai batas yang tidak mampu mereka bayangkan atau bagaimana para kekasih Tuhan diberikan segala kenikmatan yang melebihi harapan mereka sendiri. Aku tidak lagi risau. Aku juga tidak lagi takut. Risau dan takut mungkin tertinggal bersama sisa-sisa otakku di jalan beraspal itu. Ya, semuanya memang tertinggal. Aku tidak perlu lagi. Aku hanya perlu kesadaran ini. Aku akan kembali. Kembali pada-Nya. Menyatu dengan-Nya. Menjadi Dia.
           
*****

            Aku dimana? Aku benar-benar takut, bahkan untuk bertanya dalam pikiran sendiri. Aku mendapati diriku ditengah kumpulan manusia. Ratusan manusia, tidak-tidak, ribuan manusia, atau mungkin jutaan. Entahlah, terlalu banyak makhluk disini. Tempat yang luar biasa luas, tidaklah seumur hidup aku pernah melihat yang model begini. Ketika memandang ke utara maka akan sampai ke selatan, ketika memandang ke barat maka akan sampai ke timur, begitu pula sebaliknya. Ahh, bahkan aku belum pernah bisa menentukan arah mata angin.
            Aku memberanikan diri. Menebak-nebak dalam hati. Apakah dunia sudah kiamat? Semua manusia mati? Apakah ini sebuah persidangan akhir yang tertulis di dalam kitab suci? Atau aku hanya bermimpi? Aku enggan bertanya pada orang-orang telanjang disekitarku. Mana mungkin aku yang waras bertanya alamat pada orang gila tanpa busana. Atau mereka yang waras dan aku yang gila. Mungkin saat itu memang yang waras tidak berbusana. Ohh, baguslah ternyata aku juga tidak berbusana, setidaknya aku sama gila dengan yang lainnya. Tak apalah gila, asal sama-sama.
            Benar dugaanku. Manusia sudah kiamat. Peradaban manusia sudah usai. Aku mulai risau. Manusia-manusia telanjang lain juga risau. Aku takut, meraka juga ikutan takut. Aku gerah, mereka juga terlihat gerah. Gawat sekali, aku benar-benar lupa apakah tadi aku sudah sholat. Ahh, aku benar-benar lupa kapan terakhir kali aku sholat, atau mungkin aku memang tidak pernah benar-benar sholat.
            Tuhan berdiri dipodium-Nya. Disamping-Nya para malaikat berjajar rapi. Manusia-manusia telanjang termasuk aku terkaget-kaget menatap Tuhan. Inilah misteri terbesar dalam sejarah manusia. Eksistensi Tuhan. Segala rasa bercampur-baur dalam hatiku. Kagum, kaget, takut, malu, bahagia, cinta, benci. Bahkan perasaan-perasaan yang tidak terdefinisi. Tuhan memanggili satu-satu dari kami. Satu-satu kami dihadapkan kepada Nya. Diawali nama para nabi, lalu orang-orang suci, lalu orang-orang yang tidak terlalu suci tapi masih dalam golongan suci, lalu yang tiga per empat suci, dilanjutkan yang setengah suci setengah biasa saja, kemudian yang agak-agak suci, berikutnya yang sedikit suci.
            Kurang lebih 40 juta tahun sebelum akhirnya namaku dipanggil. Entah aku berada digolongan suci yang mana. Aku sudah mulai bosan ketika itu, manusia-manusia telanjang lain yang belum dipanggil juga kelihatan sama bosannya. Bahkan Tuhan sudah pula terlihat bosan (salah-Nya sendiri kenapa menciptakan manusia begitu banyak). Aku bergegas. Meneguhkan hatiku sesaat agar terlihat lebih percaya diri dimata Tuhan. Tuhan bergumam-gumam cukup lama. Melihat catatanku, lalu memberi isyarat pada dua malaikat yang sedari awal setia disisi-Nya. Aku takjub melihat kesetiaan kedua malaikat itu. Hanya mereka yang tidak sedikitpun menunjukan wajah lelah atau bosan selama 40 juta tahun terakhir ini. Mereka mencengkram kedua lenganku agak kasar. Masing-masing satu malaikat pada satu lengan. Aku ingin protes, tapi takut, jadi aku hanya diam dan terseok-seok mengimbangi langkah mereka yang cepat. Kedua malaikat itu menyeret ku ke belakang podium. Dari situ aku bisa melihat punggung Tuhan. Ia tidak terlihat gagah dari belakang.
            Kedua malaikat itu terus menyeret ku. sampailah kami tiba di sebuah tepian. Sebelumya aku menyangka tanah maha luas itu tidak memiliki tepi, tapi ternyata ada juga tepinya. Tepian itu adalah batas antara tanah maha luas dengan sebuah jurang yang juga maha dalam. Aku mulai berpikir kalau jurang itu tidak memiliki dasar, kalaupun ada dasarnya, aku tidak berani membayangkan apa yang berada di dasar sana.
            “Tempat para pendosa adalah neraka”. Teriak salah satu malaikat sambil mendorong tubuhku ke dalam jurang. Aku tidak begitu kaget. Skenario ini seperti sudah aku duga sebelumnya.
            Aku terjatuh ke dalam jurang maha dalam itu. Melayang-layang sambil menggapai-gapai udara kosong disekitarku. Makin lama semakin gelap. Aku jatuh. Hanya jatuh.
            Entah berapa lama sudah aku terjatuh. Aku masih saja terjatuh. Mulai bosan rasanya. Entah berapa lama lùagi akan sampai di dasar. Setelah kira-kira melayang selama puluhan tahun (ahh, entahlah sejak awal tadi aku sudah tidak lagi punya patokan waktu, matahari begitu dekat dengan kepala, jadi sudah tidak bisa dipercaya), akhirnya aku membentur sesuatu. Tubuhku hancur, bukan main sakitnya.


Wellcome to the hell

            “Wahai pendosa takutlah kamu, ini adalah neraka, tempat segala rasa sakit dihidangkan selagi hangat”. Sesosok makhluk besar menakutkan menghampiri tubuhku yang masih kesakitan akibat terjatuh tadi. Rupanya itu adalah malaikat penjaga neraka. Seperti katanya, maka aku menjadi takut. Entah apa yang membuat ku takut. Pokoknya aku takut saja. Aku diseretnya dengan sangat kasar. Ia menjadikan rambut ku sebagai tali kekang. Aku tidak punya daya untuk melawan. Tubuhku terus diseret diatas lantai neraka yang panas dan berapi-api. Sebagian kulit dan dagingku sampai tercecer sepanjang jalan.
            Mulai saat itu aku disiksa tanpa henti. Dipukuli sampai kepala hancur, ditusuk besi panas, dikuliti, dicungkil mata, dicabut kuku dan gigi, dicukur rambut model 80-an (yang satu ini aku bercanda) atau disuruh memakan api dan darah kotor. Begitu terus selama kurang lebih 40 juta tahun (aku sudah tidak punya patokan waktu sobat, jadi aku asumsikan bahwa waktu paling lama adalah 40 juta tahun). Lalu aku bosan. Ya, lagi-lagi aku bosan. Acara cungkil mata dan kawan-kawannya sudah tidak terasa menakutkan lagi. Malaikat penjaga neraka sekarang jadi lebih mirip badut ketimbang ogre yang mengerikan. Sampai suatu ketika malaikat yang biasa menusuk-nusuk bokongku dengan besi panas datang menghampiri ku. Tapi kali ini ia tidak membawa besi panas. Ia mengantarkan aku sampai kedepan pintu gerbang neraka, dan kemudian menendang bokongku keras-keras sampai aku terpental jauh. Jauh sekali.

Berapa lama surga akan membuat mu bahagia?

            Dijemput oleh dua makhluk paling cantik yang pernah aku lihat. Aku berani bertaruh tidaklah ada yang menyamai kecantikan mereka di dunia. Makhluk-makhluk cantik itu membasuhi wajahku dengan air segar. Air yang sangat segar. Pokoknya tidak ada pula air di dunia yang menyaingi kesegarannya. Dibersihkan pula sisa-sisa neraka dari tubuhku.
            Ketika memasuki gerbang, aku disambut oleh banyak sekali makhluk-makhluk maha cantik. Disambut seperti raja. Dielu-elukan, diagung-agungkan, disanjung-sanjung. Aku takjub, tidak ada satu pun aku lihat hal buruk di surga, tidak pula aku cium bau-bauan yang buruk, tidak pula suara atau omongan buruk. Semuanya mulia, semuanya indah, semuanya sempurna.
            Setiap hari, setiap jam, setiap detik, bahkan setiap satuan waktu yang tidak dapat dibagi lagi, dipenuhi oleh kenikmatan. Kenikmatan tanpa ada batasnya. Aku sampai heran sendiri, sebenarnya kebaikan apa yang pernah aku lakukan sampai aku diganjar kenikmatan yang banyaknya tidak dapat ditakar. Maka bertanyalah aku pada salah satu bidadari yang dengan setia menyisiri rambutku.
            “Wahai bidadari, tahu kah engkau apa yang sesungguhnya menjadikan aku penghuni surga?”
            “Hmm, mungkin semasa hidup, tuan adalah ahli ibadah”.
            “Rasa-rasanya aku manusia yang jarang sholat”.
            “Atau mungkin Tuan rajin berpuasa”
            “Catatan puasaku juga tidak terlalu baik”
            “Hmm, pasti tuan semasa hidup adalah seorang dermawan yang ikhlas”
            “Aku memang pernah memberi uang kepada seorang pengemis, tapi setelah itu aku menyesal sendiri karena tidak punya receh untuk membeli rokok”. Bidadari itu kelihatan agak bingung. Ia seperti sedang memikirka alasan-alasan lain yang biasa membuat manusia bisa masuk surga.
            “Nah, mungkin karena tuan seorang yang jujur, buktinya tuan mengaku kalau tuan menyesal telah bersedekah”. Bidadari itu berkata sambil tersenyum lembut padaku.
            “Ahh, aku sering kali berbohong pada ibuku tentang banyak hal”
            “Nah, tuan jujur lagi bahwa tuan sering berbohong”.
            “Wahai bidadari yang luar biasa cantik, apakah syarat termudah untuk masuk surga?”
            “Hmm, sepertinya tuan cuma butuh iman, tuan harus percaya pada eksistensi Tuhan dan mengakui-Nya sebagai Yang Esa. Apakah tuan percaya?”
            “Ya, aku percaya pada eksistensi-Nya, aku meyakini bahwa ada sesuatu yang menciptakan tapi tidak diciptakan, yang mengatur tapi tidak diatur, yang menggerakan tapi tidak bergerak, yang merubah tapi tidak berubah. Aku tidak meragukan itu, aku meyakini bahwa segala yang baik berasal dari sesuatu itu. Dan yang baik itu kembali kepada sesuatu itu. Kembali menjadi Dia. Dia yang esa. Ada Tuhan dalam setiap diri. Seperti yang di atas begitu juga yang di bawah”.
            “Nah, alasan itu yang mungkin membuat tuan berada di surga”.
            “Aku tidak yakin, rasanya aku tidak benar-benar pantas”.
            “Kenapa?”
            “Karena aku tidak pernah benar-benar menyembah-Nya. Logika-ku terlalu sombong untuk direndahkan. Aku tidak mau menyembah sesuatu yang tidak aku kenal secara logika”.
            “Tapi Ia memang tidak butuh disembah, makhluklah yang butuh menyembah-Nya”.
            “Tapi aku sombong, dan sombong adalah sifat iblis. Tempat iblis adalah di neraka. Abadi”.
            “Tuan salah”.
            “Apanya yang salah?”.
            “Iblis tidak berada di neraka saat ini”.
            “Wahai, bidadari yang luar biasa cantik, tidakkah engkau sedang mengecoh ku”
            “Wahai, manusia yang mulia, kami para bidadari tidak diberi kemampuan untuk berdusta atau mengecoh, saat ini iblis yang kau kenal sedang berada di sisi-Nya”.
            “Lalu bagaimana bisa iblis sang musuh abadi bisa berada di sisi-Nya?”
            “Karena Ia lebih mulia dari yang lain”
            “Tunggu dulu, tapi apakah sang iblis benar-benar ada secara wujud, atau hanya representasi dari sifat-sifat buruk manusia?”
            “Wahai manusia yang mulia, apakah menurut mu malaikat benar-benar ada atau hanya representasi dari sifat-sifat terpuji manusia? Apakah aku ada atau hanya representasi dari segala konsep kecantikan dan keindahan yang mampu dikhayalkan manusia? Apakah Tuhan benar-benar ada atau hanya representasi dari segala kesempurnaan, keabadian, kekuatan, dan keniscayaan yang mampu dipikirkan manusia? Apakah Tuhan ada dengan sebenarnya, atau hanya ada dalam pikiranmu? Apakah kamu, aku, mereka, dan semesta ada dengan sebenarnya, atau hanya ada dalam pikiran Tuhan, dan ketika Tuhan berhenti memikirkan kita maka kita menjadi tidak ada?”
            “Ya, suka-suka Tuhan lah. Aku lelah memikirkannya. Wahai bidadari yang cantik tiada tara, tapi bagaimana mungkin iblis yang menjadi sumber segala kesengsaraan manusia, pembunuhan, pembantaian, perampasan, pemerkosaan, pelecehan, penghinaan, perseteruan dan peperangan, bisa begitu mulia disisi Tuhan?”.
            “Kenapa kamu jadi menyalahkan iblis atas itu semua?”
            “Apakah seharusnya tidak begitu?”
            “Beribu maaf wahai manusia yang mulia, tapi kalian umat manusia, selalu saja mencari pembenaran atas segala sesuatu yang kalian lakukan secara sadar”.
            “Tapi dimana letak kemuliaan iblis itu wahai bidadari?”
            “Iblis adalah yang memisahkan telur-telur busuk dari dalam keranjang. Iblis yang memisahkan kerikil dari beras. Tuhan telah memuliakan kalian wahai manusia. Ia memberikan kepada manusia sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk-Nya yang lain. Ia memberikan kalian pilihan. Kalian manusia, selalu bebas memilih untuk menjadi diri kalian. Dirimu adalah apa yang kamu pilih, bukan apa yang Tuhan ciptakan. Ketika Adam diciptakan iblis menolak merendahkan diri pada Adam, maka terkutuklah sang iblis. Mulai saat itu Ia mengenakan jubah keterhinaan. Iblis memakai juga topeng kebencian-Nya. Lalu iblis bersumpah akan menggoda manusia sepanjang masa. Jadilah Ia sesuatu sumber keburukan, yang dihina, dan dicerca selamanya. Ia terusir dari surga dalam wujud terburuknya. Tapi asal engkau tau wahai manusia, itu semua adalah sebuah bentuk ketaatan iblis kepada Tuhan, itu semua adalah bentuk ibadahnya. Seperti juga sholat-mu, puasa-mu, sedekah-mu. Ia telah menunjukkan siapa-siapa saja yang setia, dan siapa-siapa saja yang memalingkan wajahnya dari Tuhan. Maka hari ini janganlah kamu membanding-bandingkan kemuliaan kamu dengan dia”. Saat itu juga aku tercekat, tidaklah pernah aku sebelumnya berpikir kesana.
            “Berarti, segalanya hanya sebuah skenario? Sebuah konspirasi besar? Lalu apalah artinya manusia wahai bidadari? Apakah kami hanya mainan Tuhan saja?”
            “Suka-suka Tuhan lah. Hmm, tidakkah kamu mensyukuri segalanya wahai makhluk paling mulia? Jika saja skenario itu tidak dijalankan, itu artinya kalian manusia akan dilahirkan dan tumbuh besar di surga ini. Kalian akan sangat terbiasa dengan surga. Lalu apakah surga masih akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kalian? Surga menjadi istimewa karena kalian telah menjalani hidup  didunia.
            Aku terdiam. Bidadari itu tersenyum.

*****
           
Sampai Tuhan Bosan
           
            Setelah hari itu aku hidup berdamai-damai saja di surga. Surga memang akan selalu damai. Aku nikmati kenikmatan-kenikmatan yang tersedia tanpa takut akan berkurang. Begitu terus, hari-hari ku diisi dengan kenikmatan dan puji-pujian kepada Tuhan. 100 tahun, 1000 tahun, 10.000 tahun, 100.000 tahun, 1.000.000 tahun, 40 juta tahun. Tidakkah aku bosan? Ya, aku bosan, penghuni surga yang lain juga terlihat bosan, para malaikat bosan, bidadari-bidadari bosan, dan akhirnya Tuhan bosan. Lalu Ia berhenti berpikir.
Share:

Taman Merah Muda Dian

Tidak ada orang lain yang menganggap senin sore begitu special lebih dari seorang Dian. Pria lajang akhir duapuluhan dengan xenophobia, mudah panik, dan kebiasaan buang air besar di celana, jika sedang berdekatan dengan anjing dan wanita. Pria tipikal yang sering mengalami bullying semasa SMA.

Dian bekerja  di sebuah lembaga pemerintahan tingkat kota. Ketika ada orang yang berbasa-basi menanyakan jabatan apa yang didudukinya, Dian hanya mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti e-ek.. atau me-ek. Selama tujuh tahun bekerja, ia hanya menjalani satu pekerjaan. Menyalin surat. Setiap hari kerja ia harus menyortir setumpuksurat dan menyalinnya dengan mesin tik. Begitu  selama tujuh tahun terakhir.  Yang ia lihat mulai dari hari senin sampai hari jumat, jam delapan pagi sampai jam lima sore hanya surat-surat dinas dengan bahasa yang kaku, mesin tik tua yang berkarat, dan seorang wanita paruh baya berwajah kotak dengan kaca mata kotak yang selalu memakinya apabila ia salah mengetik kata Dinas menjadi DiansSatu Dian dengan celana penuh tahi sudah cukup, tak perlu dibuat jamak.
         
yang cukup membuatnya senang selama tujuh tahun ini hanya harumnya hari gajian. Gajinya yang sedikit dan mengenaskan. Bahkan tidak cukup untuk membeli sepatu kulit baru, sehingga Dian tetap harus memakai sepatu kulit lamanya. Sepatu itu tampaknya bisa membuat kaki kita diamputasi jika terlalu lama dipakai.
         
Pada suatu senin sore yang biasa, Dian berjalan pulang melewati rute biasa untuk menunggu bus kota yang biasa pula. Untuk bisa mencapai tempat pemberhentian bus, ia harus melewati sebuah taman kecil, tempat biasanya para lansia dan anak-anak berjalan sore, lalu ia juga harus melewati sebuah pasar tradisional yang ramai, lengkap dengan seorang tukang obat botak yang selalu menawarinya minyak penumbuh rambut. Senin sore yang sama seperti senin sore lain selama tujuh tahun terakhir. Yang berbeda, hari ini Dian harus berjalan tanpa alas kaki karena sepatu tua miliknya menganga lebar. Jahitan sepatunya lepas. Sepatu kulit tua itu seperti ingin sekali menelannya bulat-bulat. Telapak kakinya terasa sakit karena tidak terbiasa tanpa alas kaki. Ketika sampai di sekitar taman, ia mencari tempat untuk duduk sejenak. Sambil tertatih-tatih menahan rasa pedih di telapak kakinya, ia berjalan menuju sebuah bangku taman kosong. Ia duduk lalu mengusap-usap kedua telapak kakinya, sambil celingukan mencari sesuatu untuk memperbaiki sepatu sialnya itu agar mau dipakai lagi, setidaknya sampai tiba di rumah.
         
Ketika Dian sedang sibuk mengakali sepatu keparatnya itu, ia dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba saja menyapanya.
         
“Pasti tersiksa sekali harus memakai sepatu itu sepanjang hari?” Sapa seorang wanita yang langsung duduk disamping Dian.
         
Dian hanya melongo sambil memandangi wanita itu.
         
“Kamu boleh memakai punyaku kalau kamu mau.” Menawari Dian sepasang sandal yang baru saja ia copot dari kedua kakinya yang mungil.

          “e-ek…. me-ek….” Dian mencoba dengan sangat keras untuk mengucapkan sesuatu.

          Wanita itu langsung menyodorkan sepasang sandal jepit mungil merah muda kepada Dian. “Aku sudah terbiasa berjalan-jalan disini tanpa alas kaki.” Kata wanita itu sambil tersenyum.

Senyumnya begitu lembut dan menenangkan, hingga sepertinya wanita ini tidak membuat Dian ingin buang air besar.

“Hei, kamu menduduki bunga yang baru saja aku petik.”  Pekik lembut wanita itu, yang saking lembutnya sampai terdengar seperti nyanyian ditelinga Dian.

“e-ek…. me-ek….”

“Sudahlah, hmm… aku harus segera pulang, sudah hampir malam, kamu kan juga harus cepat-cepat pulang.” Kata wanita itu sambil mengambil bunga-bunga yang tadi terduduki oleh Dian.
         
          Wanita itu berjalan pergi sambil memegang bunga-bunga tadi ditangannya. Belum seberapa jauh ia melangkah, ia kembali menoleh kearah Dian dan tersenyum, lalu melemparkan bunga-bunga yang dipegangnya kedalam tempat sampah yang berada tepat disampingnya. Lalu wanita itu kembali berjalan menjauh.

          Perjumpaan yang singkat tapi indah. Pikir Dian

          Dian masih saja terdiam, ia terus menatap kearah perginya wanita itu. Sampai akhirnya wanita itu tidak terlihat lagi, bersamaan dengan matahari sore yang terbenam dengan malas. Benar-benar senin sore yang indah untuk seorang Dian.



          Senin sore itu benar-benar special untuk Dian, sore itu ia berjalan tanpa alas kaki sampai rumah. Ia menenteng sepasang sandal pemberian wanita itu dengan wajah yang amat bahagia. Seperti seorang atlet dengan piala emas ditangannya. Bahkan penjual obat botak yang biasa menawarinya minyak penumbuh rambut menjelma jadi pria tampan lengkap dengan rambut ikal dan jambang halus. Sepertinya hari ini Tuhan baru saja menang lotere, lalu membagikan kecantikan dan ketampanannya kepada setiap makhluk dengan cuma-cuma.

          Begitu sampai di rumah, Dian langsung masuk ke kamarnya, lalu memandangi sepasang sandal merah muda itu bersama hatinya yang berbunga-bunga. Setelah sekian lama berkutat dengan hitam dan putih saja, akhirnya Tuhan menghadiahkan suatu sore merah muda untuk Dian. Sore yang begitu manis, yang membuatnya tidak ingin tidur malam ini. Ia ingin menghabiskan manis hari ini sendirian saja. Ia tersenyum sendiri, lalu bercakap-cakap dengan entah siapa. Sebuah percakapan imajiner yang hanya dimengerti oleh Dian dan Tuhan. Ia terus melakukan itu sepanjang malam, sampai lupa membersihkan kotoran yang menumpuk didalam celananya.

***
          Keesokan harinya, pada jam yang sama seperti kemarin, Dian kembali duduk dibangku taman itu. Ia menunggu wanita yang kemarin menyapanya. Ia masih menenteng sandal pemberian sang wanitatapi hari ini sepatu keparat miliknya sudah ia perbaiki. Ia sangat berharap bisa bertemu dengan wanita itu sore ini. Ia ingin mengembalikan sandal milik wanita itu dan setidaknya mengucapkan terima kasih. Semalaman Dian berlatih keras untuk mengucapkan frase sederhana itu.
         
          Dian terus menunggu, dalam diam. Ia sudah terbiasa mengacuhkan segala sesuatu yang ada di sekitanya, dan hari ini hal itu terbukti sangat membantu. Ia tidak sedikitpun merasa jenuh. Ia hanya ingin menunggu.

          Ketika ia sadar wanita yang ia tunggu tidak akan datang sore itu, ia segera bergegas pulang. Entah apa yang membuatnya tau kapan ia harus pulang dan berhenti menunggu. Selama ini Dian tidak pernah memakai jam tangan, bahkan mungkin ia tidak tau caranya membaca jam, tapi ia selalu tepat waktu. Ia tidak pernah sekalipun terlambat sampai kekantor. Sepertinya ia punya intuisi yang tajam tentang waktu.
         
          Keesokan harinya, masih pada jam yang sama, Dian tetap datang ke taman yang sama dan duduk di bangku yang sama. Untuk menunggu wanita yang sama, dalam diam yang sama, dan perasaan yang sama. Lalu karena kesadaran akan ketidak hadiran sang wanita ia pun kembali pulang, dengan masih menenteng sandal mungil pemberian sang wanita lengkap dengan ucapan terima kasih yang dilatihnya setiap malam.

          Begitu juga keesokan harinya

          …dan besoknya lagi

          dan besoknya lagi

dan besoknya lagi

          Hingga akhirnya senin sore yang lain tiba dan Dian masih dengan setia menunggu sang wanita di taman itu, ia tetap duduk di bangku yang sama dalam diam yang sama.

          Dan wanita itu datang.

          “Hei ternyata kamu ada disini, sepertinya sepatu mu sudah bisa dipakai lagi” Sapa wanita itu, ditambah sebuah senyum yang membayar setiap detik penantian Dian selama seminggu ini.

          “e-ek…. me-ek….”

          “Sepertinya setiap senin sore kamu ada disini”

          “Y-ya…” Balas Dian seraya menyembunyikan kegugupannya. Ini kali pertama untuk Dian merasakan sesuatu bergerak lembut didalam dadanya, sesuatu yang begitu lembut tapi kuat. Semoga bukan semacam rasa mulas.

          “Setiap senin sore taman ini selalu sepi, hanya beberapa orang iseng yang datang, dan aku salah satunya.” Wanita itu berbicara dengan suara yang hampir menyerupai bisikan. Suaranya membuat Dian ingin terdiam selamanya.

          “Y-ya…” Dian mencoba menanggapi dengan gugup.

          “Apakah kamu sedang menunggu sesuatu?” Tanya wanita itu sambil memainkan ujung-ujung roknya. “Seorang wanita misalnya”

          “em-e…ek” Jawab Dian gugup. Ya aku sedang menunggu mu, sudah satu minggu terakhir aku menunggu mu disini. Pikir Dian

          “Aku juga sedang menunggu.” Bisik wanita itu. “Kamu tau sudah berapa lama aku menunggu disini setiap senin sore?” Kata-katanya dihentikan oleh setitik kecil air mata. “Aku sudah menunggu selama tujuh tahun… Ya aku mengghitungnya, bahkan setiap detiknya. Aku selalu menunggu dia disini, tidak peduli sore itu cerah atau hujan, panas ataupun ada badai… Aku terus menunggu, dan akan terus menunggu”

          Dian hanya terdiam.

          “Kamu tau seberapa menjemukannya menunggu?” Tambah wanita itu, yang terdengar seperti sebuah pertanyaan retorik bagi Dian. “Apalagi bila yang kamu tunggu adalah seseorang yang tidak kamu tau pasti kedatangannya, entah ia akan datang atau tidak. Seseorang yang tidak tau kalau kamu sedang menunggunya dan memperhatikannya dari kejauhan.” Tutur wanita itu sambil mengalihkan pandangannya ke sisi lain taman.

          Dian masih saja teriam, dan ini merupakan hal yang biasa terjadi padanya.

          “Aku mengenal dia tujuh tahun lalu disini… tidak, aku tidak benar-benar mengenalnya, lebih tepatnya aku melihat dia tujuh tahun lalu disini. Tepat disini.” Suara wanita itu sekarang terdengar begitu lirih, seperti hilang terbawa angin sore. “Sejak senin sore tujuh tahun lalu itu, aku selalu menghabiskan senin soreku disini. Aku selalu menunggu dia disini, dan pada setiap senin sore aku selalu memperhatikannya dari sini. Berharap ia melihat kearahku lalu pandangan kami saling bertemu, tapi percayakah kamu hal itu tidak pernah terjadi?” Wanita itu kembali melancarkan pertanyaan retoriknya.

          Dan Dian masih saja terdiam. Mungkin Diam adalah salah satu keahliannya, selain buang air dicelana.

“Dia tidak pernah dengan sengaja atau tidak mengarahkan pandangannya kesini. Dari jutaan kemungkinan, tidak satupun yang mengarahkan pandanganya kesini.” Tukas wanita itu sambil menunjuk kedua matanya dengan agak kesal. “Mungkin Tuhan menyembunyikan aku dari penglihatanya, hingga ia hanya melihat bangku kosong.”

Suasana senin sore itu tiba-tiba saja menjadi begitu hening. Seperti ada sebuah sekat kedap suara yang memisahkan mereka berdua dari dunia luar.

Sampai suaranya memecah kebisuan. “Hingga setelah kira-kira tiga tahun aku jalani rutinitas itu, pada suatu senin sore dia tidak datang. Senin sore berikutnya lagi dia juga tidak datang. Begitu juga senin sore berikutnya, dia tetap tidak datang.”

Terjadi lagi, sebuah jeda

“Tapi tidak satu senin sore pun aku lewatkan tanpa menunggu dia disini.” Kata wanita itu, memecah kekosongan, suaranya terdengar lebih kuat dari sebelumnya. “Hingga pada suatu senin sore yang lain…”

Lalu terjadi lagi, sebuah jeda panjang yang membuat Dian merasa tidak nyaman. Rasanya waktu ikut berhenti ketika wanita itu berhenti bicara. Seperti menjebaknya dalam ketiadaan.

“Hingga pada suatu senin sore yang lain setelah lebih dari satu tahun, ia datang lagi.” Lanjut wanita itu mengakhiri jeda panjang yang barusan saja tercipta, suaranya kembali terdengar lirih. Bahkan lebih lirih dari sebelumnya. “Ya akhirnya dia datang lagi.”

Dan lagi-lagi terjadi, sebuah jeda yang memuakan. Setidaknya Dian tau satu hal.Wanita itu suka sekali menghentikan waktu.

“Tapi dia tidak datang sendiri seperti biasanya. Dia menggendong anak kecil itu dan menggandeng perempuan itu.” Lanjut wanita itu tiba-tiba, sambil menunjuk kearah satu keluarga yang sedang bermain di sisi lain taman dengan gembira.

Dian dengan enggan melihat kearah wanita itu mengarahkan telunjuknya. Laluterjadi lagi. Sebuah kekosongan. Lebih kosong dan lebih panjang dari sebelumnya. Hingga wanita itu kembali beretorika. “Kamu tau seberapa menjemukanya menunggu?” Kata wanita itu memecah kekosongan. Membuat Dian tahu satu hal lagi tentang wanita itu. Dia benar-benar suka beretorika.

Kali ini Dian menggelengkan kepalanya.

“Apalagi jika orang yang kamu tunggu tidak memberikannmu sepasang sandal ketika sepatu yang kamu pakai rusak jahitannya.” Jeda keparat itu terjadi lagi “Apalagi bila kamu bahkan tidak tau namanya… dan kamu tidak tau apa-apa tentang dia, tapi kamu tetap menunggunya… bahkan selama lebih dari tujuh tahun yang menjemukan”

Kembali lagi, sebuah jeda panjang yang memuakan. Kekosongan yang paling panjang yang pernah Dian rasakan. Ketiadaan yang membunuh segala sesuatu yang ada.

Hingga akhirnya wanita itu melanjutkan dengan suara yang sudah kembali normal. “Ah, sudahlah, sudah terlalu sore untuk menunggu. Aku harus pulang, kamu kan juga harus segera pulang, dan satu hal lagi” Kali ini wanita itu sudah bisa tersenyum seperti senin sore lalu. “Kamu boleh menyimpan sandal itu untuk kenang-kenangan, aku masih punya banyak di rumah.”

Wanita itu pergi,

Dian seperti kehilangan beberapa detik dalam hidupnya. Ia merasa telah meloncati beberapa detik itu tanpa sadar. Ada sebuah kepingan puzzle yang hilang, yang membuatnya sulit mengartikan dunia di sekitarnya.

Ia terjebak dalam kebisuan. Kali ini sendiri.

Sampai sebuah suara berat mengagetkannya. “Sedang menunggu sesuatu nak? Bapak juga sedang menunggu seseorang”

Seorang kakek lengkap dengan sapu lidi bergagang, sarung tangan, dan seragamoranye tiba-tiba saja telah duduk tepat di samping Dian.

Dian mengernyit lalu pergi dalam ketergesaanTujuh hari sudah cukup bagi ku.Pikir Dian


***

 Inspirasi dari cerita kawan lama.
Penulis : Ahmad Saval

Share:

Gulma Molase

 "don't grow up too fast, and don't embrace the past, this life's too good to last, and i'm too young to care" lirik itu terus bergema di kepala ku. Gemanya tanpa akhir. Segala yang ada dalam diriku seperti tidak merelakan lagu itu berakhir. Nafas ku, nafas teman-teman ku, nafas kasur, nafas meja, nafas galon aqua, nafas jam jaket milik "M" yang tebalnya luar biasa, nafas pakaian kotor, nafas alat-alat make up si "R", nafas lampu, nafas lubang bekas paku, nafas koleksi dvd anime bajakan, nafas seluruh kamar temanku, nafas dunia, nafas semesta, segala hal menjadi seirama. Blackout. Malam itu kesadaran tidak punya arti.
   Itu adalah kali ketiga, aku dan teman-teman ku ber"trip" ria. Si "A" yang notabene adalah orang paling waras dalam sekte, harus mengakui bahwa kadar gila dalam otaknya melebihi yang lain. Tidak kurang dari tiga jam ia meracau bebas, tanpa batas. Kata-kata acak ia muntahkan dari kepalanya. Mulai dari si "F" yang tiba-tiba saja bertanduk, berekor dan bertato 212, sampai bingung memilih akan jadi profesor atau pelawak.
    Di sisi lain ruangan, si "D" harus mengakui bahwa ia memendam hasrat pada gagang sapu, tapi sayang upaya bodohnya menyetubuhi gagang sapu harus gagal, lantaran si "R" yang masih separuh waras merebut gagang sapu sexy itu dari pelukannya.
    Mungkin hanya si "R" yang masih mampu menjaga kesadarannya malam itu. "R" hanya tidak mampu membendung tawa melihat dua teman yang lain menjadi gila, lalu waras, lalu gila lagi. jadilah si "M" yang memang tidak mencicipi sama sekali sang GULMA MOLASE KERAMAT. kerepotan menjaga dua orang sinting dadakan.
   Pada saat-saat tertentu aku melihat si "A" dan si "D" terlihat begitu ceria, namun ada juga saat mereka merasakan kesedihan yang sangat dalam. Perasaan-perasaan itu seperti datang dan pergi begitu saja. Tanpa pemicu. Begitu juga pada ku. Aku seperti memiliki dunia sendiri malam itu. Dunia yang slow motion. Segala hal terlihat begitu indah, segala suara jadi begitu merdu, bahkan pada suatu titik aku seperti mampu meraba surga. Tapi sebaliknya, ada saat dimana aku merasa sangat takut, takut yang merah darah, entah takut pada apa.
   Dalam "trip" malam itu, aku tidak banyak bicara. Aku lebih banyak mendengar dan merasakan. Merasakan nafas semesta, juga detak dan degubnya. Segalanya harmonis. Indah tidak terjelaskan. Aku tidak berani bilang kalau aku yang paling waras malam itu, karena pada suatu detik, aku seperti berkata pada diriku sendiri "ohh... begini rasanya jadi orang gila" dan pada saat itu pula aku takut kalau kegilaan instan itu tidak ada akhirnya. Gilanya lagi, sisi lain diri ku seperti mempasrahkan diri, "biarlah selamanya gila... asal indah ini tidak bertepi". Tapi, lagi-lagi tapi. Sisi sadar ku yang merayap bangkit dari dormannya berkata "Realita akan berkuasa lagi". Dan saat itu pula aku sadar.
    Yang kami rasakan malam itu mungkin bukan pengalaman spiritual yang sakral. Tidak pula kekhusyukan yang dalam dan suci. Yang benar-benar kami rasakan mungkin hanya dianggap orang lain sebagai kegilaan instan akibat makan jamur yang tumbuhnya diatas kotoran sapi. Tapi bagi ku pribadi, malam itu adalah malam paling melankolis sepanjang sejarah. Tak perlulah sakral atau suci. Ketika kesadaran kehilangan arti, maka ruh-Nya ada dalam salah satu debu dari jutaan lainnya yang tak sengaja ku hirup bersamaan dengan cairan benalu. 

Setidaknya kami telah tau rasanya jadi gila...
Share:

Tuhan Tergugat Alam

Suatu ketika, seorang kakek mengajari cucunya bagaimana cara berburu. Dari pria tua itu sang anak lelaki suku Sioux mendapat pelajaran, bahwa berburu bukanlah tentang pria gagah dengan senjata atau busur, tapi tentang kematian yang memberikan kehidupan. Berikut yang dikatakan sang kakek, tentang cara orang-orang Sioux berburu:

Untuk menembak saudara berkaki empat di daerah belakang tubuhnya, untuk memperlambatnya, tetapi tidak untuk membunuhnya. Kemudian, raih kepala sang kaki empat dalam tangan mu, dan lihatlah ke dalam matanya. Mata adalah tempat segala kesakitan itu berada. Lihat ke dalam mata saudaramu itu dan rasakanlah kesakitannya. Kemudian ambil pisaumu dan sembelihlah sang kaki empat di bawah pipinya, di sini, di lehernya, sehingga ia akan mati dengan cepat. Dan ketika kamu melakukan itu minta maaflah pada saudara mu, sang kaki empat atas apa yang kamu lakukan. Berikanlah juga doa terima kasih untuk saudara kaki empatmu atas tubuh yang ditawarkannya kini pada mu, ketika kamu membutuhkan makanan untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai. Dan berjanjilah kepada sang kaki empat bahwa kamu akan mengembalikan diri mu sendiri ke tanah ketika kamu mati, untuk menjadi makanan bagi tanah, dan untuk saudara bunga, dan untuk saudara rusa. Adalah sudah seharusnya bagimu untuk menawarkan doa ini untuk sang kaki empat dan pada waktunya, balaslah dengan tubuhmu melalui cara ini, sebagaimana sang kaki empat memberikan hidupnya untuk kelangsungan hidupmu. (Warren dalam Tong, 2004: 389).

Pelajaran yang dapat kita ambil dari model suku Sioux tersebut adalah bagaimana mereka begitu menghormati yang lain diluar manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kata ganti “saudara” untuk hewan buruan. Pada banyak kebudayaan kuno, penghormatan terhadap alam macam ini banyak sekali ditemui. Di masa sebelum munculnya agama-agama monotheis semit, paganisme memberikan cara pandang yang berbeda tentang hubungan manusia dengan alam. Dewa-dewa mereka adalah personifikasi dari kekuatan alam, dewa langit, dewa laut, dewa gunung, dewa sungai, dewa hutan dan lain sebagainya. Dewa-dewa pagan memang terkesan bersifat pragmatis karena penyembahan terhadap mereka didasari oleh kebutuhan manusia. Sebagai contoh, masyarakat yang hidup di pesisir akan lebih menyembah dewa laut ketimbang dewa gunung begitu pun sebaliknya, dan masyarakat yang kesehariannya berburu akan lebih menghormati dewa hutan ketimbang dewa langit, walau pun secara hirarki dewa langit adalah yang paling tinggi. Akan tetapi sifat pragmatis paganisme tersebut menyatakan dengan jelas bahwa manusia membutuhkan alam, bukan sebaliknya.
Pada awalnya, hubungan antara manusia dengan alam tidak dilihat seperti pada masa ini. Seperti dalam pengajarannya, Kakek Sioux menunjukkan bahwa dia dan orang-orang Sioux tidak melihat hubungan alam dengan manusia secara oposisional. Baginya, alam dan manusia memiliki hubungan yang saling melengkapi. Dalam konsep-konsep kuno hubungan alam dan manusia adalah sangat dekat dan hampir tidak terpisahkan. Manusia berasal, bertumbuh, dan dibesarkan oleh alam. Oleh karena itu penghormatan terhadap alam menjadi sangat besar. Tidak dapat kita sangkal bahwa monotheisme semit adalah yang mempolulerkan kepada kita cara pandang bahwa manusia tidak berasal dari bumi ini. Dalam ajaran monotheisme semit yang telah mapan macam islam-kristen-yahudi, dikatakan bahwa manusia berasal dari tempat di luar bumi, yang kemudian karena sebuah dosa maka diturunkan ke bumi. Ide itulah yang kemudian membuat hubungan manusia dengan alam menjadi oposisional. Dan lebih lagi memberikan kita pandangan bahwa alasan diciptakannya alam semesta adalah manusia.
Ide bahwa alam ini diciptakan untuk kelangsungan hidup manusia membuat ekosentrisme tidak populer lagi dan digantikan oleh dominasi manusia atas alam secara keseluruhan. Nilai-nilai dualisme yang dibawa oleh agama-agama semit memberikan hak istimewa kepada manusia untuk memperlakukan alam sekehendaknya. Lebih parah lagi hujatan-hujatan yang dilakukan terhadap ritual-ritual kuno, yang membuat kearifan-kearifan yang terkandung dalam ritual-ritual tersebut tertutup stempel tahayul.
Berkembangnya monotheisme semit memberikan sumbangan besar bagi peradaban manusia, akan tetapi juga membuat kemunduran besar bagi hubungan manusia dengan alam. Manusia tidak lagi memberikan sesaji pada laut, gunung, atau hutan. Manusia menjadi makhluk yang egosentris. Monotheisme semit menaikan kedudukan manusia di alam semesta. Manusia kini berada di puncak hirarki alam semesta, sehingga beranggapan bahwa segala sesuatu di luar dirinya berada di bawahnya dan diperuntukan bagi dirinya. Manusia tidak mau disetarakan dengan makhluk-makhluk hidup lain. Dapat dikatakan bahwa penolakan kaum agamawan terhadap teori evolusi adalah bentuk dari kesombongan manusia. Sangat mungkin bahwa teori evolusi dapat dipatahkan, akan tetapi apakah kaum agamawan yang mati-matian menolak bahwa manusia memiliki kekerabatan dengan kera dapat memberikan hipotesa yang lebih logis ketimbang mengutip epik Adam-Hawa?

Kearifan dalam mitos dan tahayul Indonesia
            “Numpang-numpang, anak Bagong mau kencing” Ucapan macam itu biasanya dilakukan ketika seseorang hendak buang air kecil di tempat yang bukan kakus, misalnya hutan, kebun, atau di bawah pohon. Pada masa sekarang ini, ucapan macam itu sudah jarang sekali kita dengar, selain karena kakus dan wc sudah banyak tersedia, juga karena sebagian orang menganggap hal tersebut sebagai sebuah tahayul dan bentuk kemusyrikan. Padahal jika dikaji lebih dalam, tata cara buang air kecil tersebut menyimpan kearifan dan ide-ide ekosentrisme. Tidakkah kita menyadari bahwa, dari pengajaran sepele, tentang tata cara buang air kecil terdapat sebuah bentuk penghormatan manusia terhadap alam. Tidakkah ketika kita hendak menumpang buang air kecil di rumah orang lain, kita harus memohon izin terlebih dahulu, lalu kenapa kepada alam, kita tidak dapat melakukan hal yang sama? Mungkin benar, jika dikatakan bahwa ide awal dari ritual-ritual macam itu adalah kepercayaan manusia pada yang gaib, tapi tidakkah kita berpikir sedikit lebih luas dan mengartikan kata “gaib” disini tidak hanya sebagai mahluk halus atau semacamnya, tetapi lebih mengacu pada kehidupan lain di sekitar manusia, seperti tumbuhan, hewan, air dan udara. Tidakkah kita sadari bahwa ketika sedang melakukan ritual buang air kecil yang sepele macam itu, sebenarnya kita sedang mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita sedang menumpang hidup di alam, dan bukan sebaliknya.
            Selain tata cara buang air kecil tadi, pada ajaran-ajaran di jawa dan sekitarnya akan kita temukan ritual-ritual yang mengangkat sesajen sebagai konsep utama. Seperti larung saji dan ritual-ritual semacamnya. Ritual-ritual macam ini juga didasari oleh keparcayaan terhadap yang gaib, akan tetapi pada dasarnya ritual-ritual macam ini juga menempatkan alam sebagai yang perlu dihormati. Pada banyak kebudayaan kuno di dunia termasuk Indonesia terdapat ritual-ritual khusus ketika hendak menebang pohon atau memetik dan memanen. Bayangkan, jika untuk menebang satu pohon saja kita perlu melakukan ritual sesaji terlebih dahulu, maka penebangan dan pembabatan hutan secara brutal tidak akan terjadi.
            Ada juga mitos mengenai Nyai Roro Kidul. Mitos ini berkembang di sepanjang pesisir selatan pulau jawa. Habis-habisan mitos dan kepercayaan masyarakat jawa terhadap Nyi Roro Kidul dihujat oleh agamawan. Dianggap musyrik dan sesat. Akan tetapi tidakkah kita melihat bahwa mitos tersebut memposisikan laut sebagai yang hidup dan dengan begitu, manusia perlu melakukan penghormatan terhadap laut, sebagai balasan karena laut telah memberikan penghidupan pada manusia. Pesan yang disampaikan adalah jelas, bahwa manusia seharusnya lebih hormat terhadap alam, seperti juga kita menghormati manusia lain.

***
            Adalah benar jika dikatakan bahwa manusia lebih istimewa dari makhluk-makhluk lain, lantaran memiliki kemampuan lebih dalam berpikir. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas membuat kita memiliki hak istimewa untuk berlaku lalim terhadap alam. Perlulah setidaknya sedikit saja kita membuka pikiran terhadap hal-hal yang selama ini kita anggap tahayul atau sesat, karena di dalam hal-hal tersebut tersimpan kearifan yang luar biasa, yang bahkan tidak terpikirkan oleh kita yang telah mapan dalam peradaban. Bukan berarti bahwa kita harus kembali kepada kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual kuno, tetapi melihat ritual-ritual tersebut dengan lebih bijaksana, sehingga kearifan yang terkandung di dalamnya dapat kita serap. Tidak adil jika kita memberikan stempel tahayul dan sesat pada sesuatu yang belum kita kaji secara dalam.
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa apa yang ditawarkan oleh agama-agama baru adalah juga tahayul-tahayul model baru. Hal ini akan menjadi benar ketika di generasi mendatang telah ditemukan konsep kepercayaan baru. Dan bahwa Tuhan agama baru adalah Tuhan yang berasal dari representasi kesempurnaan akal pikiran manusia, yang kemudian menggantikan posisi Tuhan-Tuhan personifikasi alam. Siklus macam ini akan terus berulang ketika manusia telah menemukan konsep baru tentang ketuhanan.
Satu hal yang perlu kita petakan ulang adalah bagaimana cara pandang kita terhadap hubungan antara manusia dengan alam. Kita juga harus menegaskan kepada diri kita sendiri bahwa kita bukanlah yang teristimewa dalam hirarki alam semeta. Kita harus bisa menerima bahwa sebenarnya manusia sedang menumpang hidup pada alam, bukan sebaliknya dan adalah fakta tidak terbantahkan bahwa kita adalah parasit paling bebahaya bagi bumi ini.

Share: