Cemas



2014. Saya lupa tanggalnya. Saat itu saya mencari sesuatu yang mungkin biasanya engga terlalu penting, tapi bener-bener penting buat hari ini dan seminggu kedepan. Ya, pengeruk. Mulai dari kamar tidur, ruang keluarga, ruang tamu, sampai kamar mandi (ini beneran) saya cari tuh pengeruk, ga ketemu-temu. Sampai akhirnya saya menyerah, dan berpikir "besok ajahlah, kan pasti ada temen yang bawa pengeruk".  Emang bener ada temen yang bawa pengeruk pensil, tapi tetep aja penasaran kenapa pengeruk pensil itu ga ketemu-temu, padahal seringkali saya ngeliat tuh pengeruk
Seminggu selanjutnya saya lagi beresin buku buat kerja besok. Lalu saya ngeliat sesuatu, sesuatu yang ngingetin saya tentang 'sesuatu'. Sesuatu disini adalah pengeruk, dan 'sesuatu' disini adalah kekampretan minggu kemarin yang saya coba buat nyari pengeruk itu.

Setelah itu, saya menyadari salahsatu paradoks hidup pertama yang paling nyata dan yang paling sering saya alami, yaitu semakin kita mencari sesuatu, maka semakin menjauhlah kita dari hal tersebut. Namun ketika kita berhenti mencari sesuatu tersebut, secara tak sadar sesuatu tersebut mendekat kepada kita, entah kenapa.
Share:

Pencarian ?

Ketika orang-orang mengatakan "pencarian" adalah awal dari segalanya, 'aku' berpikir bahwa justru "pencarian" itu adalah akhir dari segala permulaan. "Pencarian" menawarkan proses yang paradoksial, dengan tujuan yang buram, tak jelas. 

Manusia yang dihakekatkan untuk hidup selamanya, pasti tergiur akan iming-iming dari hasil "pencarian". Senang, bahagia, sukses, terangkum semua didalamnya sebagai 'calon' hasil dari "pencarian" tersebut. Tapi pernahkah terbesit dalam pikiran mereka, bahwa dengan mereka terfokus pada "pencarian" tersebut, mereka akan melupakan apa yang ada pada diri mereka, mereka akan melupakan rasa syukur yang seharusnya mereka panjatkan kepada sang-Hyang?

Yah tidak ada salahnya untuk mencari, tapi jangan pernah salahkan alam jika kau tak dapatkan apa-apa darinya.

Saval

Share:

Penyerupa Ular Eps. II



 Untuk dia yang menyerupai ular....

Aku ingin mengnalnya sekali lagi

Seberharga apakah dia bagiku?bahkan terkadang aku sendiri tidak tahu.
Terkadang dia lebih berharga dari alam semesta, tapi kadang tidak lebih berharga dari kertas-kertas lusuh puisi romantis picisan.

Aku beri tahu kamu satu rahasia saudaraku...kita sebagai manusia tidak akan sadar kalau kita memiliki hati jika kita belum pernah merasakan sakit hati. Itu salah satu yang aku dapat dari perkenalanku dengan si-penyerupa ular yang satu ini.

Bagiku dia adalah bagian paling berharga dari mata rantai takdir yang telah menyusun kehidupanku selama ini. Tapi ia juga sebentuk penggambaran malaiakat yang dikutuk oleh Tuhan karena menggodaku untuk memakan buah pengetahuan. Dia mengajariku banyak hal. Yang paling berharga justru rasa sakit itu sendiri.

Dia yang menyerupai ular mengajari ku bukan tentang romantisme, bukan tentang kesetiaan tanpa akhir, dan bukan tentang cinta yang tidak dimiliki orang lain...lalu apa yang membuat dia lebih berharga dari semesta bagiku?

Dia mengajariku sesuatu yang lebih berharga dari itu semua...

Si-penyerupa ular yang satu ini mengajariku tentang rasa sakit yang begitu dalam, hingga ketika aku jatuh kedalamnya aku tidak akan pernah sampai kedasarnya walau sampai akhir masa. rasa sakit yang begitu hitam pekat hingga aku lupa arah, hingga aku tidak dapat membedakan antara membuka dan menutup mata. Rasa sakit dan menyayat yang begitu merusak hingga rasanya aku ingin mencabut keluar jantungku sendiri.

Tapi...

Setiap rasa sakit itulah yang memperkuat diriku. Membuatku memandang setiap kehidupan jauh lebih baik. Menemukan sudut yang tepat untuk melihat bahwa setiap kehidupan adalah special, bahkan yang terkecil sekalipun. Menyadari bahwa setiap manusia adalah pusat alam semesta dan saling mempengaruhi satu sama lain. Takdirku, takdirmu, takdir mereka, takdir kita semua saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Aku tidak akan sedang duduk disini dan menulis note ini jika dulu tidak mengenalnya, bahkan aku tidak akan berfikir untuk itu. Tuhan menciptakan si-penyerupa ular itu didalam kepalaku.

...dan jika aku boleh memilih aku ingin selalu mengenalnya sebagai si-penyerupa ular...

Aku benci mengatakannya...

Tapi...

Aku sungguh mencintainya
Aku merindukannya

Aku malu mengatakannya...

Tapi...

Aku ingin selamanya bersastra untuknya...
Aku ingin selamanya bermain nada untuknya...
Aku ingin selamanya terdiam untuknya...
Dan aku akan menunggu selamanya...meskipun bagi mu itu tidak realistis saudaraku...tapi sekali lagi jika aku bisa memilih, aku ingin menjadi seorang idealis selamanya...Untuk si-penyerupa ular itu saudaraku, hanya untuk dia...


Untuk dia yang menyerupai ular....

Aku ingin mengnalnya sekali lagi
Share:

Penyerupa Ular



Mengenai si-penyerupa ular itu, boleh lah aku bercerita lebih lebar. Perkara seberapa penting ia bagi ku, adalah tidak penting lagi. Anggap saja ia adalah titik tolak dari segala takdir.

Ayu aulia namanya. Indah bukan? Awalnya ia adalah kenalan dari sebuah tempat kerja. Dulu sekali aku dan beberapa teman dekat senang sekali melihatnya berkerudung disepeda. Dengan berbekal pulsa dan kemampuan berkomunikasi, aku mencoba peruntungan untuk memikat. Ayu adalah salah satu yang berhasil aku akali. Tidak tepat sebenarnya jika aku katakan “Dia berhasil aku akali” karena pada kenyataannya ia lah yang benar-benar mengakali aku. Aku tidak akan menceritakan lebar-lebar bagaimana hubungan aku dan dia berjalan. Aku rasa hal itu terlalu picisan. Aku hanya akan menceritakan bagaimana hubungan kami berakhir.

Beginilah awal dari akhir itu...

Pada suatu malam. Aku menunggu dia. Menunggu kekalahan dan rasa sakit. Aku tau itu, tanpa perlu diberi tahu. Di depan rumah. Aku menunggu. Aku tidak sendiri. Malam itu aku ditemani oleh seorang teman. Teman yang aku anggap bisa dipercaya.

Cukup lama juga sebelum akhirnya dia datang malam itu. Wanita berbalut jilbab. Cukup cantik, cukup manis dan tidak akan membuat malu jika dijadikan pasangan saat diundang ulang tahun, khitanan, kenduri, atau selamatan yang diadakan seorang tetangga karena baru saja sembuh dari penyakit wasir menahun. Tanpa basa-basi dia yang berinisial A itu, melancarkan serangan yang paling mematikan. Sedu-sedan yang ditambah sedikit sesegukan. Seperti anak kecil yang dimarahi ibunya karena iseng meniup kondom bekas pakai, ia terus menangis. Sebagai seorang lelaki sejati aku segera meredakan hujan di wajahnya. Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah disini, atau ada yang berbuat kesalahan. Aku menatap teman ku. Tatapan penuh tanya. Tapi ia malah menyibukan diri dengan handphone-nya, padahal tidak ada panggilan masuk atau pun sms. Ia hanya balas menanatapku dengan tatapan: “gue gak tau” atau mungkin “ gue pura-pura gak tau aja ya bro”.

Kalau ini sebuah film, pasti saat itu piano akustik sedang dimainkan dalam nada-nada minor. Karena saat itu sang tokoh utama seorang lelaki sejati, tampan, gagah, penyayang, pelindung hak-hak wanita dan orang tua, pecinta binatang dan anak-anak, yang tak lain dan tak bukan adalah aku. Akan segera menelan pil pahit kekalahan. Sangat pahit, sampai menangis lidah hati ku.

Di tengah sedu-sedan itu dia menyampaikan apa yang memang seharusnya ia sampaikan. Konspirasi, penghianatan, persekongkolan, atau apapun namanya. Yang jelas, ada sesuatu yang benar-benar salah. Antara mereka... Ya antara “Belahan jiwaku” dan teman ku, ada sesuatu. Oh God... it’s so drama. Terlalu picisan bahkan untuk dikatakan sebagai sebuah drama. Cinta segi tiga, antara aku, dia, dan teman ku. Luar biasa picisan bukan? But why God?... why you do this to me? Kenapa tidak Engkau bikin saja salah satu dari kami mati ditabrak angkot, lalu yang lain bunuh diri minum parem kocok, tersisalah satu tokoh yang kemudian memutuskan untuk jadi biksu. Tapi sayang drama-ku tidak sedramatis itu.

Tapi kawan, aku berani bertaruh. Bagaimanapun picisannya sebuah kisah cinta, ketika kamu benar-benar mengalaminya, sakitnya akan tetap mampu melumpuhkan jantung mu. Begitu juga aku. Aku tidak tau apa yang benar-benar aku rasakan. Perpaduan antara marah, sedih, dan kecewa. Atau aku hanya bingung. Bingung lantaran hatiku pecah berkeping-keping sehingga tak mungkin untuk disatukan lagi. Bahkan oleh genius puzzle manapun. Aku hanya bingung harus berbuat apa. Aku hanya... tersenyum (demi Tuhan aku tersenyum). Senyum yang sama seperti ketika aku pertama kali bertemu dengan dia, dan senyum yang sama ketika aku merasakan manisnya berbagi sesuatu yang berharga dengan seorang teman. Senyum kerelaan tanda perdamaian. Untuk mereka, penghianatan mereka, cinta mereka dan setiap rasa sakit yang aku harus rasakan. Aku kalah, aku terkalahkan tetapi semoga dengan terhormat.

Aku tersenyum ikhlas. Dia, yang saat ini sudah tidak bisa disebut belahan jiwa lagi, hampir surut air matanya. Make up-nya sedikit luntur tapi tetap saja tidak membuat malu jika dijadikan pasangan saat diundang pada acara khitanan, dan sang teman hanya diam. Diam yang membuat ku ingat betapa kami begitu akrab. Kami saling menopangkan lengan di bahu. Saling memapah Bersusah-susah, bersinar-sinar seperti mercusuar, dan berbagi apa saja tanpa saling membuat catatan hutang.

Bagi ku, mereka hanya sedang tidak pandai mangendalikan hati. Sebenarnya, Aku tidak menyalahkan mereka. Lagi pula manusia genius mana yang bisa mengendalikan hati. Hati selalu punya caranya sendiri untuk memilih. Aku sadar itu. Aku sakit, itu saja. Rasa sakit yang tidak akan hilang sampai besok, besoknya lagi, dan besoknya, ketika aku sudah tak punya hari esok lagi.

Aku segera menyadari satu hal. Bahwa masaku disini telah usai. Selamat lamat tinggal. Semoga takdir kita tidak lagi bersimpangan.
Share: